Marhaban Ya Ramadhan.
Selamat menjalankan ibadah puasa buat kalian yang menjalankannya. Revisi ini bakal aku publish bertahap ya.
Selamat membaca :)
.
.
Pagi itu Bu Maya, guru matematika berdiri di depan kelas sambil membawa tumpukan kertas di tangan. Sebelum pelajaran dimulai, ia ingin mengumumkan sesuatu. "Ibu udah punya hasil kuis kemarin. Banyak yang dapet nilai bagus, tapi cuma seorang yang hasilnya sempurna."
Kelas X-6 seketika ribut. Ada yang deg-degan, ada yang antusias, ada juga yang tidak peduli; salah satunya adalah Mahe. Ia seenaknya saja menguap.
Bu Maya mengambil kertas paling atas. "Yang dapet nilai seratus. Bisa tebak nggak siapa?"
"Lara!" tukas seisi kelas berbarengan.
Bu Maya tersenyum.
Sementara Lara sudah mesem-mesem sendiri. Ini bisa jadi kabar bagus buat Papa.
"Windy, maju ke depan."
Lara mendongak. Senyuman itu tanggal dari bibirnya. "Eh?"
"Kalian salah tebak!" Bu Maya tertawa yang kemudian disambut tepukan tangan oleh seisi kelas. "Windy yang dapet seratus." Bu Maya lalu menyodorkan kertas itu dan Windy pun maju untuk mengambilnya. "Lara jadi nomor dua. Nggak masalah, nilainya cuma beda dua sama Windy."
Lara tampak terpukul. Senyumnya dipaksakan ketika mengambil kertas itu dari tangan Bu Maya.
"Lo keren, Ra," ucap Wiro yang duduk di sebelah. Ia dapat posisi nomor tiga dengan peraihan nilai 90.
"Lo juga keren," balas Lara dengan senyuman terlampau lebar.
Bu Maya membagikan seluruh hasil kuis hingga tiba di kertas terakhir. Senyumannya pun hilang. Ia mengembuskan napas pasrah. "Posisi terakhir seperti biasa."
Mahe berjalan santai menuju Bu Maya. Ia mengambil kertas dan langsung meronyokannya di depan sang guru.
Bu Maya menghela napas panjang karena malas meladeni muridnya yang punya muka badak itu. Ia lantas kembali ke mejanya untuk melanjutkan pelajaran ke materi baru.
Sementara, Mahe memperhatikan gerak-gerik Lara dari kejauhan. Tangan cewek itu masuk ke kolong meja dan meronyokkan kertas ujiannya sendiri. Ia tertawa sinis. "Cih, Petasan Ngumpet emang nggak tahu yang namanya bersyukur."
.
.
Mahe dan Marin baru saja dari kantin. Mereka bercakap-cakap selama berjalan di koridor.
Seperti biasa, yang paling bawel adalah Marin. Ia begitu mungil, tingginya hanya mencapai dada Mahe. Rambut panjangnya menggapai pinggul. Meski mungil, suara cemprengnya sering bikin sakit telinga dan ia juga pintar dandan. Liat aja bibirnya yang licin dan kinclong kayak lantai yang habis dipel. "Eh, balik sekolah ke Padang Ilalang," ajaknya yang kemudian melingkarkan tangan di lengan Mahe.
"Nggak bisa. Gue harus balik cepet."
Marin jadi tertawa. "Hah? Maharesa Arimandala pulang cepet?" ia merasa jawaban Mahe terlalu mengada-ada.
"Jangan ketawa lo. Kalau gue nggak balik cepet, ibu gue bakal nyeret gue ke rumah."
Melihat Mahe yang bete, Marin pun tidak meledeknya lagi. "Ada apa nih? Kayaknya serius banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLEMAKER COUPLE (SUDAH TERBIT)
Teen Fictioncover by Orkha Creative Published by Gramedia Pustaka Utama "Pura-pura cinta itu lebih menyiksa ketimbang patah hati" BEBERAPA PART DIPRIVATE ACAK, MONGGO DIFOLLOW DULU Lara dan Mahe, cewek dan cowok yang sering bersiteru di sekolah. Mereka dikena...