Chapter Five

36 9 1
                                    

   Kini, aku berada di depan pintu tangga basement yang berada persis di sebelah kamarku, lebih tepatnya jendela kamarku. Ini agak membuatku merinding, kenapa dari dulu aku tak tahu kalau Isaac melakukan semua ini? Padahal aku ada di sebelahnya setiap malam. Padahal kepalaku selalu menghadap arah jendela. Kenapa aku bisa sampai tidak tahu? Darimana semua rubah, kucing atau yang lainnya? Mereka dibunuh secara sadis. Aku tahu mereka itu binatang tapi... orang gila macam apa yang mau melakukan ini semua? Ini kelainan. Apa Isaac punya gangguan mental? Aku memang adiknya, tapi jauh lebih baik kakakku di rumah sakit jiwa daripada melakukan hal ini terus menerus. Ini akan membuatku gila juga.

   Rach benar, sudah, aku benar-benar tak bisa makan di dalam basement itu. Aku dapat mendengar suara rubah di dalam kepalaku. Tidak. Aku tidak bisa makan di dalam sana. Terlalu mengerikan. Aku harus makan dengan tenang.

   Akhirnya, aku memutuskan untuk duduk di bawah pohon Spruce. Daunnya cukup rimbun. Cukup untukku seorang bernaung di bawahnya. Aku duduk dan menyandarkan punggungku pada batangnya.

   Aku melihat ke arah langit. Hari ini Tennesine terlihat cantik dengan langit birunya. Tak ada awan sama sekali. Hanya langit biru cerah saja. Angin hangat musim panas mem-buat badanku lebih berkeringat lagi. Aku dapat merasakan badanku yang kini sangat lengket karena bermandikan keringat.

   Aku memakan sarapanku dengan lahap. Aku sangat lapar, kemarin malam aku hanya makan beberapa lembar Graham Crackers. Aku tak berselera makan kemarin setelah melihat hal itu.

   Aku mengingat Mum dan Dan kembali. Bagiku, mereka berdua adalah penopang terbesar kehidupan keluarga kami. Tidak hanya secara jasmani dan finansial saja tapi mental kami juga.

   Mum selalu mendampingi kami, apa pun yang terjadi. Bahkan dia tidak marah saat aku mendapat nilai buruk dalam ujian bahasa Italia. Katanya, setiap orang mempunyai kekurangannya masing-masing. Itulah yang selalu kuingat dari Mum.

   Dan selalu menyayangi kami semua. Meski kami semua tahu kalau kami bukan anaknya, kecuali, Lucy. Hanya Lucy anak kandung dari Dan. Aku dapat merasakan bahwa dia benar-benar bertanggung jawab. Sangat bertanggung jawab. Dia mengajari kami banyak hal, sama seperti ayah pada umumnya.

   Sial. Aku menangis.
  
   Aku dapat merasakan air mata jatuh di pipiku. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Aku anak laki-laki yang berusia delapan belas tahun! Aku tidak boleh menangis. Tidak. Tidak boleh.

   Aku terkekeh, aku menertawakan diriku sendiri. Aku mengelap air mata itu dengan lenganku. Ada apa dengan diriku? Aku tak pernah menangis seperti ini.

   Rasanya dadaku sangat sakit. Tenggorokanku terasa serak dan sakit. Bukan karena batuk. Sakitnya lebih seperti perih dan kering. Aku memegangi tenggorokanku dan minum air putih yang telah kubawa.

    Tak terasa makananku telah habis. Aku meletakkan piring dan gelas di dekat pot, agar tidak akan ada orang yang menginjaknya. Aku berdiri perlahan dan melihat pintu basement itu lagi. Pintu karatan itu membuatku ingin muntah sekarang. Aku memegangi perutku.

   Aku segera berjalan ke arah pintu itu dan membuka pintu dengan bentuk seperti trap door itu. Suara deritan melengking di dalam telingaku. Isaac sama sekali tidak pernah meminyakinya. Memerlukan tenaga ekstra untuk membukanya. Aku masuk ke dalam basement gelap ini lagi.

   Selamat datang mimpi buruk.

   Aku memegangi dinding bata seperti biasanya. Aku dapat merasakan bata yang dingin dan ceruknya seperti biasa. Aku sama sekali tidak bisa melihat anak tangga mana yang kupijak atau seperti apa rupanya atau berapa lebarnya. Aku hanya mengira-ngiranya dengan kakiku. Membuatku dapat merasakan keinginan orang buta untuk melihat dunia. Ini menyebalkan.

   Akhirnya, aku memijak dasar basement. Aku berjalan ke samping dan terus meraba dinding bata seperti biasanya untuk mencari saklar. Ini dia.

   Aku menekan saklar dan lampu kuning itu menyala lagi. Isi kotak semalam tidak kubereskan. Kini, barang mengerikan itu ada di hadapanku. Mereka berserakan secara bergerombol dari dalam mulut kotak yang terguling. Mereka seakan mengecamku. Ini mengerikan.

   Aku menoleh ke arah pojok kanan. Tempat dimana aku mem-buang rubah mengerikan itu. Aku memang tidak terlalu menyukai rubah tapi aku masih punya hati nurani. Aku tidak akan tega mero-bek moncong seekor rubah. Aku harus segera menyelesaikan se-mua ini. Sekarang juga.

   Aku berjalan mengambil senterku dan mengambil diary yang sema-lam kutemukan. Aku belum tuntas membacanya. Aku hanya mem-baca bagian depannya saja.

   Aku membuka halaman berikutnya dan menyinarinya dengan senter. Kertas kuning yang mulai lusuh. Agak sulit membacanya.

   Tennesine, 14 Juni

   Percobaan 17XX

   Hari ini aku akan memulai percobaan itu kembali. Aku sadar, bumi takkan bertahan lebih lama lagi, aku harus melakukan sesuatu. Peledakkan jumlah penduduk lebih mengerikan daripada kemiskinan. Perang yang diawali dari masalah perut, anak-anak yang terlantar. Akan jauh lebih mudah bagi mereka bila mereka mati dan menganggap mereka tak pernah ada di sini.

   Aku tahu segala perbuatanku ini menentang moral dan kemanusiawian alami dari manusia.

   Moral tak berguna lagi sekarang, moral manusia akan berubah seiring waktu. Dan, akulah yang akan membuat hal itu bisa diterima. Hanya manusia yang kuat yang bisa bertahan hidup, selebihnya, mereka hanya binatang yang menunggu di jagal.

   Sama seperti rubah yang kemarin. Aku sengaja merekamnya. Jarang sekali ada rubah di sini. Rubah yang malang.

   Aku menahan napasku sesaat. Ini gila. Apa yang akan dia lakukan? Lagipula, setahuku Isaac tak punya jabatan, organisasi atau kekayaan yang dapat mendukung hal itu.
Maksudku, kalau kau ingin merencanakan hal gila seperti itu. Pastinya, kau harus punya organisasi atau apapun yang bisa membantumu untuk meraih itu. Tapi, kurasa kau juga tak ingin melakukan hal itu.

   Aku berdiri dan melihat ke sekeliling, dia tadi bilang kalau dia merekam penyiksaan rubah yang malang itu. Aku menoleh ke arah bangkai kering rubah itu. Matanya terlihat kosong. Rubah malang. Pikirku.

   Aku segera berjalan ke arah isi kotak itu. Semalam, aku hanya melihat beberapa saja. Aku tidak kuasa melihatnya. Bahkan sekarang aku ingin muntah. Bisa kau bayangkan kalau aku mengajak Lucy ke sini. Dia menyukai rubah.

   Aku meraba raknya satu persatu. Melihat apakah ada rekaman itu? Aku mengarahkan senterku ke atas. Ada bunyi retak di sana. Aku mengenyit. Tikus kah?

  Aku segera mengarahkan senter-ku ke arah dinding. Seingatku, Dan menyimpan tongkat pramukaku di sini bekas camping musim panas. Aku pensiun sekarang. Aku mencari dengan teliti. Mungkin tongkat itu terjatuh atau bagaimana. Aku tidak tahu.

   Aku berjalan ke arah belakang lemari. Mungkin ada di sana. Aku menyorotinya. Tidak ada ternyata. Kemudian aku berkeliling mencari di tempat lain. Tidak ada juga.

   Aku mulai kecewa. Lalu, aku ingat kalau aku membawa sebuah sapu kemarin. Aku hanya tinggal menyeret meja dan berdiri di atasnya. Bingo.

   Aku segera mengambil sapu itu dan menyeret meja kayu yang ada di tengah dan menyeretnya ke retakan tadi. Aku naik ke atas meja sambil membawa senter dan sapuku.

   Ini bukan retakan. Sama sekali bukan. Ini pintu rahasia? Aku mengamati bentuknya. Persegi sempurna dengan kuncian namun ditutupi dengan sedikit cat.

   Kurasa, Isaac salah kalau dia berpikie aku takkan menemukan pintu ini. Kau salah besar!

   Sial.

   Ini dikunci.

   Aku merobek catnya agar terkelupas. Ini kunci model lama. Akan mudah untuk membobol yang satu ini. Aku hanya harus mengambil jepit atau peniti. Kurasa Rach pasti punya.

Tunggu aku, Isaac.

AftermathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang