Tanpa disadari, ikatan itu sudah ada sejak lama. Ar-
***
FINALLY. Akhirnya Dimas nikah. Setelah sekian lama membujang, akhirnya hari ini Dimas melepas gelar bujang lapuk yang disematkan ibu padanya. Ibu bahkan tidak berhenti menangis selama prosess ijab qobul, yang membuat Dimas tidak bisa berkonsentrasi, dan harus mengulang ijab qobulnya.
Mbak Nurul terlihat sangat manis dengan kebaya putih sederhananya, ditambah jilbab yang menghiasi kepalanya. Ini yang aku kagumi dari mbak Nurul, bagaimana bisa perempuan pendiam itu bisa memancarkan keanggunannya hanya dengan tersenyum seperti itu.
Dimas? baiklah harus kuakui bahwa Dimas terlihat gagah hari ini.
Menurutku pernikahan ini sempurna, pernikahan yang sederhana, yang membuat orang – orang yang hadir merasakan khidmat yang begitu dalam.
Bagaimana pernikahan ku nanti? Yang jelas aku ingin pernikahan yang sederhana seperti Dimas. jujur saja, konsep pernikahan Dimas ini kurang lebih sesuai dengan pernikahan impianku.
Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri orang –orang terdekat, baju pernikahan yang sederhana namun tetap elegan, dekorasi yang tidak berlebihan tapi terkesan manis.
Hanya membayangkannya saja membuat hatiku mengembang.
"ka, balik kamar yuk, mau bobok gue, ngantuk" ajak Dina yang duduk dibelakangku.
Untuk acara Resepsi akan diadakan pada malam harinya di hotel yang sama tempat dilaksanakannya ijab qobul. Jadi, keluarga dan teman – teman diberi kamar untuk beristirahat.
Mbak Ana datang menghampiriku "dek, mbak duluan ke kamar ya, mau istirahat"
"oh, iya mbak. Loh? Mbak sendiri keatas?" tanyaku pada mbak Ana.
"gak. Mbak sama mama. Reno masih ngobrol sama temennya." Jelas mbak Ana sambil menunjuk kearah Reno yang sedang ngobrol dengan beberapa orang, yang aku ketahui merupakan teman dekat Reno dan Dimas.
"mbak, Dina ikut deh keatas. Mules nih. Gue duluan ya?" tanya Dina padaku.
Aku hanya mengangguk kearah Dina. Tadi katanya ngantuk, sekarang mules. Dasar.
Aku menatap punggung mbak Ana. Perasaan bersalah terus saja menghantuiku saat melihat mbak Ana. Aku bahkan sedikit menjauh dari mbak Ana. Sebisa mungkin aku menghindari interaksi dengan mbak Ana
"dek, gak mau ke kamar?" Reno tiba – tiba saja menghampiriku.
"iya, nih mau kekamar" jawabku.
Aku dan Reno berjalan bersisian. Saat sudah sampai didalam lift yang ngomong – ngomong hanya berisikan aku dan Reno. Tiba – tiba saja Reno melirik kearah kakiku.
"kurang tinggi sepatunya" ucap Reno tiba – tiba.
"ha?"
"sepatu kamu kurang tinggi, sekalian aja hak sepatunya pake tiang listrik " raut muka Reno saat ini membuatku menelan ludah. Muka kesalnya sungguh mengerikan.
"ya.. baju kebaya gini kan cantiknya pakai heels mas. Masa baju bagus gini pake sepatu teplek sih? kebanting tau" aku hanya bisa menatap lantai lift, tidak berani memandang wajah Reno. dan sialnya lagi, suaraku sudah bergetar. Ya ampun... ini apaan sih, kok jadi cengeng gini?
Reno menghela nafasnya panjang. pintu lift lalu terbuka, Reno menggenggam tanganku dan menarikku keluar. He? Kamar Reno bukanya dilantai 6? Ini kan lantai 5?
Dengan polosnya, aku hanya mengikuti Reno yang menarik tanganku lembut. Sampai didepan pintu kamarku, Reno memagang kedua pundakku yang memaksaku harus menghadap kearah Reno dan menatap wajahnya.
Aku langsung saja menunduk. Jantungku saat ini tidak bisa diajak kompromi.
"dek lihat mas" ucap Reno lembut
Akupun memberanikan diri untuk menatap wajah Reno.
"untuk apa sih pakai heels kalau membahayakan kamu sama sikecil? Kalau Cuma untuk kelihatan cantik, kamu mau pakai apa aja udah cantik. jadi gak perlu pakai heels ya? " jelas Reno dengan suara yang lembut
Aku hanya bisa menunduk dan mengangguk. Aku yakin mukaku sudah semerah tomat saat ini. Reno kemudian melepaskan salah satu pegangannya di bahuku dan mengusap kepalaku. "lagian udah tinggi begini ngapain pakai heels? Buat yang badanya mini minder aja"
Aku mengankat wajahku dan tersenyum.
"jadi, bisa kan nanti malam gak usah pakai heels?" tanya sekali lagi.
"iya. Gak pakai heels kok"
Reno kemudian menyuruhku untuk masuk. Tapi sebelum aku masuk kekamarku, gerakan spontan Reno membuatku menahana nafas. Reno mengusap kepalaku dan mengusap perutku, lalu dengan gampangnya dia tersenyum, dan mendorong pelan tubuhku untuk masuk kedalam kamar, dan menutup pintu kamarku.
Dan aku hanya bisa berdiri mematung dibalik pintu kamar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabardin
Romancekarena masalah hati, tidak bisa diselesaikan hanya dengan penyatuan ps: saya sudah lama berperan sebagai pembaca, ini pertama kalinya sama menulis. kritik dan saran akan sangat berharga bagi saya.