12. solusi?

39 4 0
                                    

it's not about what or why, it's about how. Ar-

***

Jika kita ingin mengerti keadaan orang lain, cobalah posisikan diri kita menjadi orang itu. Dengan begitu kita tidak akan menumpahkan semua kesalahan kita terhadap orang itu. Cobalah pahami. Berat memang, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.

Menyelesaikan masalah bukanlah dengan emosi, tapi dengan mencoba merundingkan. Masalah bukan tentang apa yang akan terjadi, siapa yang bersalah, kenapa ini bisa terjadi. Tetapi semuanya tentang bagaimana solusi terbaiknya.

Hal itulah yang kini aku coba lakukan. Jika aku hanya berfikir kerugian yang aku dapat dari kejadian ini, maka tak ada jalan keluarnya. Yang ada, ujung –ujungnya aku akan menyalahkan semuanya.

Menyalahkan Dimas yang tidak bisa dihubungi malam itu, menyalahkan mbak ana yang membuat Reno tertekan, menyalahkan Reno yang memilih melarikan diri dengan mabuk – mabukkan, menyalahkan takdir, bahkan menyalahkan Tuhan yang menentukan takdir itu sendiri

Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Lagi. Sudah cukup 4 hari aku menghabiskan waktu hanya untuk meratap. Aku sudah memikirkan semuanya.

Dengan sangat yakin aku katakan bahwa ini memang peran takdir. Tak ada yang salah dalam hal ini. tidak Reno, tidak Dimas, apalagi Tuhan.

Bagaimana cara aku menjelaskannya? Aku... menganggap ini adalah bagian dari perjalanan hidupku. Pelajaran yang akan menjadi peganganku nanti.

"lo yakin?" pertanyaan Dina membuyarkan lamunan ku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

"by the way, Reno kan dalam keadaan gak sadar malam itu, kok dia bisa tahu kalau... itu lo?" Tanya Dina dengan hati – hati.

"dompet sama cardigan gue ketinggalan disana" iya, dompetku tertinggal di apartemen Reno, aku mengeluarkan dompetku saat mengambil uang untuk pak satpam yang menolongku malam itu.

Malam itu aku buru –buru keluar. Keadaanku benar – benar kacau. Yang aku pikirkan, hanya bagaimana caranya keluar dari sana sesegera mungkin.

Dina hanya mengangguk menanggapi.

"din, gue pinjem apartemen lo ya, gue mau ngomong sama Reno di apartemen lo aja"

"oke, kalau gitu gue entar keluar aja..."

"jangan... lo disini aja, maksud gue lo dikamar. Jagain gue.. gue.. masih agak trauma" cegahku pada Dina. Jujur saja aku masih trauma saat ini.

Dina tersenyum, dan mengusap lenganku. "aman itu mah.. lo udah ngubungin Reno?"

"Udah gue WA tadi, katanya langsung tancap gas kesini. Bentaran juga nyampe" jelasku pada Dina

Benar saja, tak lama Reno sudah sampai di apartemnnya Dina. Dina segera membukakan pintu untuk Reno.Sementara aku duduk di balkon. Di balkon ini tersedia satu meja kecil dan dua kursi yang saling berhadapan.

Aku mendengar suara Dina yang menyuruh Reno untuk ke balkon. Aku tak pernah segugup ini sebelumnya. Bahkan saat sidang skripsi aku lebih santai dibanding teman – temanku yang mengatakan kalau mereka gugup setengah mati.

"Ariska.."

Aku mendoangak saat mendengar namaku di panggil. Seketika hatiku mencelus. Reno jauh lebih kacau dibandingkan hari terakhir aku melihatnya. Lingkaran hitam pada matanya tercetak jelas, rambutnya berantakan, dan rambut disekitar wajahnya terlihat lebih lebat. Reno memang brewokan, tapi dia rajin mencukurnya, sehingga tidak terlalu lebat.

Apa yang terjadi di Jakarta? Apa keadaan mbak Ana makin parah? Sampai Reno seberantakan ini?

" duduk mas..." reno segera duduk dihadapanku. Terlihat dari gerak tubuhnya bahwa dia sangat merasa bersalah. Bahkan Reno tidak menatap mataku.

GabardinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang