9. done?

28 4 0
                                    

bukanlah perkara sulit untuk memulai dan mengakhiri. tapi berjuang untuk memulai dan berjuang agar tidak berakhir, itulah perkara sulitnya. Ar.-
***

Aku mengetuk pintuk kamar mbak Ana berulang kali. Tapi tak ada respon apapun dari dalam sana. Aku menghela nafas, dan mencobanya lagi. Tapi hasilnya tetap sama.

Aku melirik kearah belakang. Terlihat Reno yang mulai frustasi. Bingung apa yang harus dia lakukan.

Ini sudah hampir satu bulan usaha kami untuk membujuk mbak Ana. Tapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada yang bisa meluluhkan hati mbak Ana.

Jujur saja, aku sedikit kesal dengan mbak Ana yang terlihat egois. Mbak Ana hanya memikirkan keterpurukan dirinya saja.

Mbak Ana hanya merasa dirinya yang hancur sendirian. Dia tidak pernah melihat apa yang ada disekitarnya.

Bagaimana dengan orang tuanya, bagaimana dengan keluarganya, dan juga bagaimana dengan suami yang sangat mencintainya.

Tapi, aku merasa rasa kesalku tidak tepat untuk keadaan ini. Aku berusaha mengerti bagaimana keadaan mbak Ana. Seorang wanita yang harus kehilangan impian terbesarnya, yaitu menjadi seorang ibu.

Aku berani bertaruh, mbak Ana tidak akan perduli bagaimana keadaan fisiknya, asal dia masih bisa memiliki anak, hal itu pasti akan membangkitkan kembali cahaya kehidupannya. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa diharapkan selain keajaiban sang Maha Pencipta.

"udah dek, mending kamu pulang"

Aku melirik kearah belakang, terlihat Reno yang sudah terduduk disofa, sambil menundukkan kepalanya.

Tidak pernah aku melihat Reno sefrustasi ini. Saat melihatnya seperti ini, rasa sesak itu kembali menyerang, merobek semua dinding pertahanan hatiku tanpa ampun.

Tak tega rasanya melihat mbak Ana yang menghancur perlahan, dan Reno yang tersudut seperti ini.

Keadaan macam apa ini? bukankah orang - orang baik seperti Reno dan Mbak Ana seharusnya menikmati kebahagian mereka?

"mas gak apa -apa ditinggal sendiri?" tanyaku pada Reno. Tak ada jawaban apapun keluar dari mulut Reno.

aku mendekat kearah Reno " mas ?"

"salah gak kalau mas udah mulai capek?" pertanyaaan itu terlontar dari Reno, tak ada intonasi apapun di nada suaranya. Tapi raut mukanya jelas menggambarkan semuannya.

Aku menghela nafas panjang. entah kenapa aku yang merasa letih melihat keadaan ini. "gak. Mas gak salah. Wajar kalau mas ngerasa capek. Yang mas butuhin itu istirahat. Jangan memaksakan diri. Hati dan pikiran mas butuh istirahat."

"Dan aku yakin, mas tahu, dimana harus beristirahat. Tuhan siap 24 jam mas" sambungku.

Reno menyandarkan punggungnya ke sofa dan mulai memejamkan matanya.

Aku hanya memandangnya prihatin. Semua tubuhnya seperti meneriakkan keputus asaan. Aku berharap Reno bisa mengendalikan dirinya.

Semoga dia tidak terjebak dalam hal buruk apapun.

***

"gimana? " ibu langsung menghampiriku dan meninggalkan kegiatan memasaknya saat aku masuk ke area dapur

Aku hanya menggeleng dan menghela nafas.

Setelah pulang dari rumah Reno. aku memutuskan untuk pulang kerumah langsung. Ntah kenapa aku merasa letih.

"jadi harus gimana lagi?" Tanya ibu lagi.

Akupun hanya terdiam. Bingung mau menjawab apa. Kami semua, aku, keluargaku, keluarga mbak Ana serta Reno tidak tahu cara apa yang harus kami tempuh untuk membujuk mbak Ana lagi.

Kami sudah menggunakan cara halus sampai cara yang kasar sekalipun. Pernah sekali Reno menggendong mbak Ana bak karung beras dan membawanya kerumah sakit. Sesampainya dirumah sakit mbak Ana terus meraung dengan tangisan yang terdengar pilu. Reno pun tidak tega, dan membawa mbak Ana pulang.

"kita coba pasrah aja ya bu, sambil tetap berusaha pelan - pelan". Ibu hanya mengangguk, dan menyeka air mata yang menggenang dipelupuk matanya.

Terkadang aku berfikir. Bukankah mbak Ana adalah orang yang beruntung? Punya banyak orang yang menyayanginya dengan tulus.

Lantas apa lagi yang membuat mbak Ana membekukan hatinya. Tidak cukupkah orang - orang yang ada disekelilinganya, yang menyayangiya dengan tulus, menjadi alasan untuk dia berjuang melawan penyakitnya?

Apa yang mbak Ana takutkan? Takut jatuh? Bukankah orang - orang disekitarnya tidak akan pernah melepaskan pegangan mereka terhadap mbak Ana?

Tapi saat ini, mbak Ana lah yang melepas paksa pegangan itu, membuatnya jatuh kelubang yang kelam dan sepi.

Dan kami semua, sedang berusaha semaksimal mungkin. Mencoba mengeluarkan mbak Ana dari lubang itu. Tentunya disertai doa yang tiada henti.

GabardinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang