Elsa
Ketika kamu bersamaku, kemudian kita bertengkar dan aku bilang putus, kamu terus merayuku. Mengulang mengatakan dan menyatakan kata cinta serta berusaha membangkitkan kenangan antara kita berdua yang sudah bosan kudengar. Aku hanya tertawa. Setelahnya, kamu mengajakku kembali ke dalam pelukmu. Memintaku kembali menjadi salah satu alasanmu berjuang.
Pada waktu yang lalu, aku mau. Namun, saat ini, entahlah. Aku merasa jenuh denganmu. Sayangnya, kamu tetaplah kamu: lelaki yang tidak mudah menyerah. Sejak mengejarku bahkan sampai aku berkata ingin pisah, kamu selalu begitu.
Pada hari itu, sungguh aku sudah tak lagi merasa cocok denganmu. Ada satu bagian di dalam diriku yang enggan menerimamu lagi. Namun, kamu tetap tak pernah lelah berusaha mendapatkan hati ini.
Setelah kata putus dariku hari itu, kamu tetap bersikap seperti kamu adalah kekasihku. Mengantar-jemputku ke kampus. Membawakan makanan favoritku. Memberikan bunga-bunga dan puisi cinta. Kamu tak berubah.
"Kita sudah tidak pacaran, Ki," kataku ketika kita sedang duduk berdua menunggu makanan datang di sebuah restoran cepat saji yang sering kita datangi.
Kamu hanya tersenyum, kemudian berkata, "Ya, sudah. Kalau begitu kita pacaran lagi." Tanganmu bergerak cepat menggamit tanganku yang sedang tidak siap untuk menghindar. Kamu menatapku lekat-lekat. Dalam beberapa saat aku kembali masuk ke dalam mata itu. Mata yang kutahu penuh dengan ketulusan hingga tiba-tiba aku melepas paksa genggaman tanganmu.
Ki, mengertilah, aku sudah tidak mencintaimu lagi, kataku dalam hati. Ingin sekali kukatakan langsung padamu, tetapi aku tak tega. Bagaimana pun aku tahu kamu punya rasa. Kamu terlalu baik dan aku sudah cukup bosan dengan hubungan kita yang sejak dua tahun lalu begini-begini saja.
Tiga bulan setelah kita putus, aku belum mau juga kembali padamu. Aku benar-benar ingin suasana baru tanpamu, meski nyatanya di dalam hari-hariku masih ada kamu. Hubungan kita tidak berubah. Masih sama. Bahkan teman-temanku menyangka kamu masih pacarku.
Selama kita putus, selama itu pula kamu terus memohon untuk kembali, dan selama itu juga aku selalu menghempaskan tanganmu. Menolakmu dengan cara yang kuharap tak menyakitimu.
Malam itu sudah hampir pukul dua belas, kamu menjemputku yang pulang terlalu malam karena ada acara di kampus. Aku tak meminta. Ketika kamu bertanya aku ada di mana, dan kujawab posisiku, kamu langsung menghampiriku.
"Ki, gak ada gunanya kita begini terus. Kita harus sendiri-sendiri, Ki," ucapku setelah turun dari motormu yang baru tiba di depan rumahku. Kali ini aku harus bersikap tegas. Aku tidak ingin terus begini.
"Aku gak bisa hidup tanpa kamu, Sa," ucapmu dengan pasrah.
"Ki, aku mohon. Aku udah gak ada perasaan apa-apa lagi sama kamu. Buat apa kamu bertahan sama orang yang udah gak mencintai kamu?" Kamu membalas dengan diam. Aku dapat melihat ada genangan halus di matamu.
"Sejak awal, hubungan kita ini salah, Ki. Sebaik apapun kamu, aku masih ngerasa kalau kamu bukan orang yang tepat buat aku. Aku nyaman ada di samping kamu, tapi hanya sebatas itu, Ki. Sorry to say, bukan kamu yang aku mau."
Entah bagaimana aku merangkai kalimat itu, tetapi ucapan itu mengalun saja dari bibirku. Aku tahu kamu tak akan membenciku dan apa yang baru saja kukatakan. Kamu terlalu mulia untuk merasakan hal semacam itu.
Angin malam berembus melewati kita yang kemudian sama-sama terdiam membeku. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu. Aku pun tak mengerti bagaimana perasaanku ketika itu. Aku hanya merasa aku harus mengambil sikap terhadap hubungan kita.
"Maaf, Ki."
Aku menutup malam itu dengan kata maaf. Meninggalkanmu yang masih termangu di depan rumahku. Aku tidak tahu sampai kapan kamu berada di situ. Karena ketika kubuka pintu rumahku, aku telah menutup pintu hatiku untukmu.
Keesokan harinya ketika aku memeriksa ponselku, tak ada lagi ucapan selamat pagi darimu. Ada sedikit kelegaan di hatiku mengetahui kalau kamu sudah mulai bisa melepasku dan berhenti dari kegiatan untuk mengangguku. Hal yang kulakukan kemudian adalah melanjutkan hari-hariku sendiri tanpamu. Sempat risih dengan beberapa pertanyaan teman-temanku tentang kamu, tetapi untungnya semua itu segera berlalu. Mereka percaya kita tak lagi bersama karena kamu sudah tak lagi hadir di tengah-tengah mereka untuk menemuiku.
Selanjutnya, aku mendengar dari kawanku kalau kamu tengah berusaha mendekati seorang wanita, katanya adik kelasku ketika SMA. Aku hanya menjawab, "Sudahlah, itu terserah dia."
Aku sudah begitu nyaman dengan kesendirian ini. Mungkin nanti aku akan memulai kembali hubungan dengan lelaki lagi, tetapi nanti saja lah. Aku tidak naif kalau sudah ada laki-laki yang mendekatiku, tetapi tetap saja aku belum mau. Sekali pun aku menerima ajakan malam mingguan dari mereka, itu tak lebih hanya untuk menyegarkan otakku dari deadline tugas kuliah yang tak pernah lelah mengejarku. Sebatas itu.
"Sa, liat deh!" Tania, teman sekelasku menunjukan ponselnya tepat di depan wajahku. Pada ponsel berukuran beberapa inci itu aku melihatmu fotomu bersama seorang wanita dan terdapat tulisan 'teman hidup' di bawahnya. Fotonya tidak mesra, hanya ada kamu dan si Adik Kelas itu berdiri tanpa saling merangkul, tetapi foto itu cukup membuat teman-temanku heboh. Karena yang mereka tahu, kamu begitu tergila-gila padaku. Aku hanya tertawa.
Perasaanku kini sungguh telah biasa saja.
Saat bersamaku, kamu juga pernah melakukannya. Beberapa kali saja selama dua tahun hubungan kita. "Aku tidak suka kita terlalu mengumbar-umbar kehidupan pribadi di medsos," begitu alasanku. Sebagai lelaki yang baik, kamu menurut saja. Meski di beberapa momen tertentu, kamu tetap suka mencuri-curi kesempatan.
Hari ini, mungkin foto itu telah semuanya kamu hapus.
KAMU SEDANG MEMBACA
SESAL
RomanceKetika cerita telah usai, ternyata masih ada sesal yang tertinggal.