Saat-saat berat tanpa wanita yang selama ini kucintai telah kulewati selama tiga ratus enam puluh lima hari, aku merasa hebat karena ternyata aku masih sanggup hidup detik ini.
Setelah berpisah dengannya, kupikir aku akan segera mati. Hatiku telah hancur tak menyisakan kepingan sekecil apapun saat aku dengan bodohnya menyetujui perpisahan kami.
Mana mungkin manusia dapat hidup tanpa hati?
Namun nyatanya aku masih hidup, meski rasanya seperti berjalan sendirian di bumi.
Setelah tiga ratus enam puluh lima hari —yang entahlah tepat atau tidak—, setelah aku berusaha melanjutkan hidupku dengan sedikit harapan hidup yang masih tersisa, takdir kembali mempertemukan aku dengan dirinya.
Dia, wanita dengan sejuta pesona, yang pernah begitu kupuja, kini kembali menampakkan dirinya di hadapanku.
Hanya sepuluh langkah kaki yang memisahkan kami. Kupikir jarak itu akan abadi dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Namun ternyata, kaki ini begitu berani untuk menghampiri wanita yang begitu kurindui.
Wanitaku tak pernah berubah, tetap cantik meski kadang sedikit ceroboh. Seperti hari ini, ia lupa tidak membawa dompet ketika ada tiga plastik besar berisi belanjaannya di meja kasir.
Seperti tidak pernah kapok dengan keteledorannya, ia malah tertawa setelahnya.
Tawa yang begitu aku rindukan.
Sebagai ucapan terima kasih telah membayar belanjaannya, ia bersedia menemaniku duduk sebentar untuk sekadar menebus rasa rindu yang selama ini tergadai.
Aku memesankan es krim kesukaannya. Wajahnya berseri-seri ketika menerimanya.
Setelah tak bertemu lama, wajahnya semakin indah saja, betapa banyak kebahagiaan yang mendatanginya setelah aku pergi. Sedangkan, aku di depannya, dengan wajah gugup dan tak percaya diri, begitu menginginkannya kembali menjadi wanita yang berhak kucintai.
"Bener nih uangnya gak usah diganti?" Senyum manis terukir di wajahnya ketika menanyakan itu. Aku menggeleng.
Satu gesekan kartu yang hanya bernilai beberapa ratus ribu tak akan pernah ada artinya dengan kebahagiaan bertemu dengannya hari ini.
"Rumah kita berlawanan arah, lagipula aku dijemput," jawabnya setelah aku menawarkan untuk mengantar pulang.
Dia sudah ada yang menjemput, kataku dalam hati.
Aku mengantarnya hingga ke lobi super market, setelah dia bilang yang menjemputnya sudah menunggu di lobi. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di depan kami, pengendara mobil itu membuka kaca mobil dan tersenyum ke arah kami.
Elsa membalas senyum itu.
"Aku gak terlambat kan, Putri Elsa?"
Tanpa menunggu jawaban, ia lalu membawakan belanjaan orang yang dipanggilnya Putri itu ke bagasi mobilnya.
Elsa pamit kepadaku dan berjalan menuju pintu mobil sebelah kiri. Dengan cepat, lelaki itu melarang Elsa untuk membuka pintu.
"Biar aku yang membukakan pintu untuk Putri Elsa."
Elsa tersenyum. Ia begitu bahagia sampai lupa mengenalkan lelaki itu pada diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SESAL
RomanceKetika cerita telah usai, ternyata masih ada sesal yang tertinggal.