3

100 35 7
                                    

Rizki

Hari ini seperti biasa aku menjemput pacarku dari kampusnya. Meski lelah baru pulang bekerja, tetapi kesempatan bertemu dengannya tak akan sudi kulewatkan.

Melihat wajahnya selalu menyenangkan, menenangkan, dan entahlah berjuta kata lain yang menggambarkan sebuah keindahan. Dia begitu memesona, bahkan ketika wajahnya tertekuk karena sedang marah.

Selanjutnya, aku hanya perlu membawakan es krim rasa stroberi agar senyumnya datang kembali.

Begitu manis.

Seburuk apapun suasana hatinya, sekacau apapun pikirannya, jika sudah bertemu dengan es krim, semua penat yang menimpanya seakan berguguran bersamaan dengan lelehan es krim di mulutnya. Aku selalu suka melihatnya ketika sedang memakan es krim. Dia tampak begitu lucu. Bagian favoritku yang lainnya adalah ketika membersihkan es krim yang menempel di ujung bibirnya.

"Ki, aku capek!" keluhnya sambil menaruh kepalanya di bahuku.

Beberapa menit kemudian aku mampu merasakan detak jantung dan irama lembut napasnya. Aku memperlambat laju motor agar tidurnya tidak terganggu dan supaya ia tidak jatuh. Meski aku yakin ia tidak tertidur pulas. Sudah seminggu terakhir ini ia selalu pulang malam. Wajar saja bila ia begitu kelelahan.

"Ki, laper," rengeknya dengan mata yang masih terpejam. Aku dapat melihatnya dari kaca spion.

Di sepanjang jalan, aku melihat beberapa warung tenda yang buka. Aku memutuskan berhenti di warung pecel lele. Aku tahu dia suka pedas.

"Mau pecel lele, Sa?" tanyaku. Kini dia sudah membuka matanya. Ia menggeleng.

"Terus mau apa?" tanyaku lagi.

"Terserah.” Ia menjawab sambil mengucek-ngucek matanya.

"Bubur?" kepalanya menggeleng lagi.

"Nasi goreng?"

Ia kembali menjawab dengan gelengan kepala dan kata kramat, "Terserah."

"Yaudah deh kalau kamu maksa. Aku mau bubur aja," katanya kemudian sambil cemberut. Tekukan wajah yang membuatku tersenyum. Pacarku yang manja.

Aku pun kembali menyusuri jalan mencari warung yang menjual bubur.

"Ki, gak pake seledri sama bawang, ya!" ucapnya mengingatkan saat aku hendak memesan. Padahal tentu saja aku sudah hafal kebiasaannya itu.

Sambil makan, ia terus bercerita tentang kegiatannya hari ini. Aku mendengarkannya dengan perasaan senang. Bukan senang karena mengetahui ia mendapat masalah, aku hanya suka ketika ia mulai banyak bicara. Lucu sekali. Seakan tidak pernah mau berhenti. Bahkan aku punya videonya. Sering kuputar sebelum aku tidur dengan tujuan untuk senyum-senyum sendiri. Tentu saja aku mengabadikannya secara diam-diam. Kalau dia sampai tahu, mungkin aku akan didiamkan berhari-hari sampai dia bosan.

Nama pacarku adalah Elsa.
Elsa yang cantik.
Elsa yang pintar.
Elsa yang berhasil membuatku jatuh cinta.

Kami sudah berpacaran hampir dua tahun, aku berharap dapat segera meminangnya. Menjadikannya seseorang yang kujadikan alasan untuk terus merasa bahagia.

Usiaku kini 24 menjelang 25 tahun, sedangkan dia masih 21 tahun. Kami terpaut usia tiga tahun. Pertemuan pertama kami terjadi ketika aku sedang menjemput adikku di sekolahnya. Sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, aku tak sengaja melihatnya. Masih mengenakan rok putih abu dengan senyum yang begitu meneduhkan.

Saat itu, kupastikan aku sudah jatuh cinta.

Sangat sulit mendapatkan hatinya, ia perempuan yang begitu cerdas dalam memilih dan itulah yang membuatku semakin ingin menjadikannya sebagai yang kupilih. Butuh waktu hampir satu tahun untuk menjadi pacarnya. Tentunya dengan perjuangan yang luar biasa. Dengan beribu bunga dan puisi cinta.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang