Fikha mengerjap. Pandangannya terus terpaku pada tiga sosok dalam ruang kesehatan. Minhyun Baskara yang awalnya beralasan tak bisa menengok Seonho karena rapat kini berjalan terburu-buru menuju sebuah tempat tidur. Ia kemudian berhenti tepat di samping ranjang tempat Seonho dibaringkan. Lelaki kecil itu sudah sadar, namun pelipis sebelah kanannya dibalut plester dengan kapas yang diberi obat merah.
Fikha bisa melihat amarah Minhyun mulai memuncak. Matanya tampak menyala. Dari luar saja terlihat begitu menakutkan bagi Fikha, apalagi jika berada di posisi guru olahraga Seonho yang tengah hadap-hadapan langsung dengan dia.
"Maafkan saya, Pak ...."
Fikha mendesah pelan. Suara dari dalam tidak terdengar jelas oleh penduduk luar. Ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari ruangan itu. Entah mau kemana, ia hanya ingin mengetuk-ngetuk sepatu di atas lantai koridor sekolah ini.
Sekolah Seonho agaknya baru bagi Fikha. Dengan bangunan tua yang masih astetik, taman kecil yang begitu asri, dan pondok ikan di pojokan, ini benar-benar persis seperti sekolah impiannya. Fikha hanya bisa bergumam, beruntung sekali Seonho bersekolah di tempat seindah taman bermain ini.
Di tengah kesibukan memperhatikan seluk-beluk sekolah, netranya tak sengaja mendapati seorang anak kecil dan wanita dewasa sedang berdiri di depan UKS. Sepertinya mereka sepasang anak dan ibu. Ibunya nampak sedang menggigit jari, sementara sang anak tengah meronta-ronta. Fikha pun menghampiri mereka.
"Permisi?" Sang ibu terlonjak kala menemukan Fikha berdiri di belakangnya. Ia terlihat gelagapan.
"Silakan masuk, Bu," ucap Fikha. Wanita itu menundukkan kepala selagi anaknya bersembunyi di balik punggung. Ia kemudian bertanya kepada Fikha.
"Apa Anda juga wali anak di dalam?"
"Mm ... iya, benar?"
Wanita berseragam kantor itu membungkuk. Ia buru-buru meraih telapak tangan Fikha. "Maafkan anak saya, Bu. Anak saya yang menendang bola, sehingga mengenai anak anda," ungkapnya memohon.
Anak lelaki di belakangnya tampak seperti tak terima. Dengan wajah basah karena air mata, ia menyahut. "Bukan aku Bu yang nendang bolanya, tapi Guan—"
"Diam aja, Adek!" Tubuh Fikha menegang kala melihat si ibu menyentak anak lelaki tadi. Alhasil, anak malang itu kembali menangis.
"Sudah, tidak usah khawatir. Yang penting Seonho baik-baik saja sekarang." Fikha berjongkok lalu mengusap air mata si anak. Tak bisa dipungkiri kalau ia selalu lemah dengan air mata, terkhusus anak-anak.
"Tapi bukan aku, Tante, hiks ...."
"Sean, cepat minta maaf!"
Fikha kemudian mendekap anak bernama Sean tadi. Sedikit iba rasanya lantaran ibu anak itu terus memberikan tekanan. Fikha menepuk-nepuk punggung Sean pelan, berharap bisa menenangkan hati kecilnya yang sedang ketakutan.
"Maaf Tante ... hiks ...."
"Iya, Tante maafin. Jangan nangis, ya?"
Sean mengangguk. Tak selang banyak waktu, pintu UKS terbuka lebar, menggiring Minhyun keluar dari ruangan bersama Seonho dalam gendongannya. Minhyun melirik Fikha.
"Ayo." Minhyun melenggang pergi begitu saja tanpa menghiraukan kehadiran ibu dan anak itu. Fikha yang tak menyangka tindakan pengabaian tersebut dilakukan oleh sang suami masih berada dalam tumpuannya.
"Ibu, Sean, mohon maaf suami saya sedang buru-buru sehingga belum sempat ikut bicara. Kami pamit pulang duluan, ya ...." Dengan keki, Fikha berpamitan sambil sedikit membungkuk. Walau sedikit kesal, langkahnya tetap harus bergegas menyusul Minhyun menuju parkiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
AC
FanfictionRafikha nyaris menyerah akan cinta, tepat sebelum pria itu datang ke kehidupannya. Minhyun Adhi Baskara, pria elusif dengan puluhan sisi tertutup yang senantiasa memancing ketertarikan Fikha untuk membukanya. Terkait dengan pribadi sang suami, kehid...