Rafikha mendudukkan diri di ujung ranjang. Punggungnya membungkuk seiring dengan frekuensi perut bagian bawah yang bertambah berat. Selang beberapa waktu terdengar suara ayam jago dari belakang rumah, seakan menjadi pengingat kedua setelah adzan Subuh.
Ia menempelkan telapak kaki ke lantai dingin kamar, mengambil tumpuan untuk berdiri. Niatnya ingin pergi ke kamar mandi untuk buang air. Namun, sesaat setelah ia berdiri, dunianya seakan berputar. Fikha pun mau tak mau kembali ke posisi semula. Ia tak ingin mengambil risiko jatuh di tengah jalan.
Pintu kamar terbuka. Cahaya dari luar ruangan perlahan melebur bersamaan dengan sepasang kaki panjang melangkah masuk. Fikha tergugah, melihat figur Minhyun dalam balutan kaus longgar beserta sarung kecokelatan yang melingkari pinggang, tak lupa dengan poninya yang agak basah. Minhyun menoleh, baru saja menyadari bahwa sang istri sedang memperhatikannya.
"Maaf, aku cuma mau ambil baju," ucapnya tenang, lantas melenggang menuju lemari besar di pojok kamar. Fikha hanya mengangguk, mustahil mengeluarkan suara ketika hampir seluruh tubuhnya berdenyut kesakitan. Minhyun menaikkan alis. Spontan bertanya-tanya dalam hati kala netranya menemukan Fikha yang tak berkutik dalam posisinya.
"Nggak siap-siap?"
"Aku nggak enak badan, Mas ...."
Minhyun berjalan menuju ranjang, lalu berhenti tepat di depan istrinya. Sedikit canggung wajah kakunya dihadapkan dengan wajah pucat Fikha. Minhyun terdiam, tak melakukan apapun di sana. Ia tak tahu harus melakukan apa. Sampai keduanya bersitatap dan Fikha kembali berkata-kata.
"Mau muntah―"
Minhyun terlonjak. Fikha berlari menuju kamar mandi dengan kecepatan melampaui angin. Tepat setelah pintu kamar mandi itu tertutup, Minhyun bisa mendengar suara rintihan Fikha ketika perut wanita itu sibuk menguras isinya.
Ia jadi khawatir, apalagi dengan adanya suara jatuh yang cukup keras. Minhyun refleks memperbesar langkah menuju kamar mandi. Di dalam, Fikha tergeletak lemas di permukaan lantai dekat wastafel. Minhyun segera meraih tubuh Fikha, kemudian mengangkatnya tanpa ragu.
"Maaf, Mas ...." ujar Fikha tatkala lamat-lamat menyadari ia berada dalam gendongan Minhyun.
Pria itu merebahkan tubuh Fikha di kasur. Istrinya terlihat bertambah pucat. Suhu badannya tergolong tinggi, membuat Minhyun percaya bahwasanya ini bukan sekedar tidak enak badan.
"Istirahat saja dulu, aku mau buat air hangat," sahut Minhyun. Pria itu menyelimuti Fikha, kemudian pergi keluar bergegas menuju dapur untuk memasak air. Fikha menghela napas. Ternyata ia terserang demam.
Fikha bego, lagi-lagi ngerepotin dia, cemoohnya dalam hati.
---
"Ayo makan."
"Nggak mau. Masih mual."
Minhyun memutar bola matanya bosan, sedangkan Fikha cemberut lantaran suaminya terus menyodorkan sendok ke hadapannya.
"Semalam belum makan 'kan?" tanya Minhyun. Fikha terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. Iya benar. Semalam suntuk ia menangis. Tidak terlintas sekalipun untuk memberi perutnya asupan malam. Fikha juga tak sempat mengganti pakaiannya yang habis terkena air hujan. Wajar saja jika saat ini ia demam.
"Terus main hujan-hujanan 'kan?"
"Nggak kok. Maksudnya―aku kehujanan, bukan main hujan-hujanan."
"Esensinya sama."
"Sudah jam enam, Mas harusnya siap-siap pergi ke kantor," ucap Fikha.
"Terus ngebiarin kamu nggak makan, gitu?" sambar Minhyun. Fikha cepat-cepat menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
AC
FanfictionRafikha nyaris menyerah akan cinta, tepat sebelum pria itu datang ke kehidupannya. Minhyun Adhi Baskara, pria elusif dengan puluhan sisi tertutup yang senantiasa memancing ketertarikan Fikha untuk membukanya. Terkait dengan pribadi sang suami, kehid...