7 : Daddy Baskara (2)

6.8K 952 153
                                    

Jalan raya sudah Daniel anggap sebagai jalur pertandingan balap motor. Lelaki itu terus mengencangkan genggamannya pada setir tanpa peduli jarum spidometer yang sudah memegang angka 80. Cuek dengan teguran orang yang diwakili bunyi klakson kendaraan mereka, Daniel tetap memaksakan motornya mengambil jalan kosong lebih dulu.

Sejak melihat punggung Fikha menghilang, bukan, lebih tepatnya sejak seorang pria berjas membawa pergi wanita pujaannya. Daniel jadi ingin cepat-cepat pulang sebelum tangannya mencari wajah pria tersebut lalu memberikan sebuah hadiah manis di pipi karena sudah berani membuat Fikha menangis.

Iya. Tentu saja Daniel melihatnya. Entah mengapa pula, wajah pria brengsek itu tampak tak begitu asing baginya.

Beruntung ugal-ugalannya tak berujung kecelakaan. Daniel berjalan masuk setelah memastikan motor jagoannya aman di basement. Ia membuka pintu menuju ruang tengah lantas menemukan Sungwoon, asistennya, dan seorang pria paruh baya tengah duduk sambil bersila di sofa. Alis Daniel berkedut, matanya melirik Sungwoon untuk meminta sebuah penjelasan perihal ini.

"Woon, kubilang jangan ada orang masuk apartemen hari ini," bisik Daniel.

"Maaf, Bos. Bos besar tau sandi apartemennya Bos."

Ah, mood-nya bertambah buruk saja.

"Habis darimana, Nak?" Pria paruh baya yang dikenalnya sebagai ayah bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari barisan berita di koran.

"Sarapan," jawab Daniel singkat. Ia juga memposisikan diri di sofa walau sebenarnya hati berkata tak mau.

Beliau menurunkan koran yang menutupi maniknya. Sosok anak kebanggaannya terpantul jelas dari balik kacamata baca. Merasa diperhatikan, Daniel enggan dan lebih memilih menatap kolam berenang di luar ruangan.

"Papa ngapain kesini?"

"Niel, masih ingat 'kan kata Papa sebelum kamu kuliah?"

Daniel sudah tahu dari awal maksud kedatangan sang ayah. Lelaki itu memijat dahi lamat-lamat, ingin marah pada dunia. Mengapa hal yang tidak diinginkannya terjadi secara beruntun dalam satu hari? Habis Fikha menangis, sekarang Papa datang menagih kewajibannya yang belum siap ia emban, mewariskan jabatan Papa sebagai direktur utama perusahaan.

"Niel?"

"Iya, ingat."

Ayahnya seperti tak puas dengan jawaban yang Daniel beri. Beliau menaruh koran tadi di atas meja, memutuskan untuk berbicara dengan serius. "Maksud Papa nyekolahin kamu di Singapura biar bisa contoh taktik bisnis mereka lalu kembangkan di perusahaan kita ...."

"... sekarang kamu udah balik. Harusnya siap kalau Papa angkat jadi direktur."

Daniel bungkam. Perkataan sang ayah lewat begitu saja dari kedua telinganya. Jemu, bukannya menanyakan kabar, Papa malah bicara tentang hal yang telah diungkit ribuan kali.

"Niel," tagih Papa kembali.

Daniel menghela napas, lantas mengangguk setengah hati. Pria setengah baya di hadapannya terkekeh pelan. Mata bulan sabit yang juga diwarisi oleh Daniel memicu timbulnya kerutan pada wajah beliau. Papa Dinata mengambil cangkir kopi. Aroma robusta memenuhi indra penciuman. Satu tegukan kecil lolos dari tenggorokannya.

"Ngomong-ngomong, Papa boleh tanya sesuatu sama Daniel?"

"Tanya apa?"

"Kamu sudah punya pacar lagi belum?"

Daniel spontan menoleh, menatap Papa terkejut. Kedua netranya memicing kala benaknya sibuk bertanya. Kenapa Papa tiba-tiba nanya kayak gitu?

Sementara akal sehatnya berpikir, hati kecilnya bergemuruh. Pertanyaan ini sungguh menguras jiwa. Tak ada kata yang bisa Daniel ucap sebagai balasan ketika wajah Fikha terlintas dalam pikiran.

ACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang