Jimin menarik tubuh itu, melemparnya hingga membentur dinding bangunan yang sudah berlumut. Pemuda yag ditarik Jimin gemetaran, merunduk tidak berani menatap Jimin yang matanya berkilat marah."M-maafkan aku Jimin, aku sungguh minta maaf." katanya dengan suara bergetar, hampir menangis.
Jimin mendenkus, "Ong Seung Woo, harusnya kau berpikir dua kali kalau mau mengerjai Taehyung." Jimin menarik kerah jaket Seung Woo, "Kau pikir Taehyung itu lelucon? Kau pikir saudaraku itu bahan leluconmu, hah?!" teriaknya di depan wajah Seung Woo.
Bagaimana Jimin tidak marah dan lepas kendali, ketika dia mendapat laporan dari anak yang ditugaskannya untuk diam-diam mengawasi Taehyung kalau seorang anak bernama Ong Seung Woo secara sengaja mengoreskan penggaris yang berujung tajam pada tangan Taehyung dan bodohnya, dan tentu saja Taehyung tidak akan menyadari tangannya terluka.
Bisa Jimin bayangkan bagaimana anak-anak lain menertawakan Taehyung di belakangnya. Mengejeknya, berbisik bahwa Taehyung anak yang aneh. Sungguh, meski Jimin tidak suka pada Taehyung, meski di mulut dia menolak Taehyung adalah saudara satu ayahnya, Jimin tetap tidak terima kalau Taehyung diperlalukan seperti lelucon rendahan oleh mereka. Kalau Taehyung tidak bisa melindungi dirinya sendiri, maka biarkan Jimin melindungi Taehyung dengan caranya.
"Aku minta maaf, Jimin. Aku tidak akan mengganggu Taehyung lagi." Seung Woo hampir menangis.
Jimin memberi satu pukulan pada perut Seung Woo, anak itu terbatuk-batuk, memegangi perutnya yang kesakitan karena pukulan Jimin jelas bukan pukulan main-main. "Kalau sampai aku dengar kau mengganggu Taehyung lagi, aku pastikan itu hari terakhirmu melihat matahari." Jimin menepuk-nepuk pipi Seung Woo, "Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku, ingat itu." Jimin berbisik di telinga Seung Woo, lalu meninggalkan anak itu yang sudah meluruh ke ubin kotor, masih memegangi perutnya.
Jimin keluar dari bangunan pabrik tidak terpakai dekat danau, berjalan pelan-pelan sembari melihat pantulan bulan di air danau yang tenang. Malam itu terasa sangat tenang dan sunyi, membuat Jimin jadi teringat ibunya. Dulu, ibunya sering membawa Jimin ke atap gedung tinggi tidak terpakai hanya untuk melihat bulan.
Ibunya akan menceritakan cerita-cerita yang tidak pernah Jimin dengar sebelumnya, entah cerita itu benar, atau hanya karangan ibunya saja untuk membuat Jimin senang.Jimin merindukan ibunya.
----
Jimin menendang batu-batu kerikil di halaman rumah keluarga Kim. Matanya memicing saat melihat Taehyung bersandar di pilar, tertidur.
"Taehyung!" Jimin menepuk pipi Taehyung.
Taehyung mengerjap, tangannya menggosok mata guna melihat lebih baik. "Eoh,Jimin. Kau baru pulang? Kenapa terlambat sekali?" Taehyung, seperti biasa, tersenyum kotak pada Jimin yang memandanginya bingung.
"Sedang apa di luar?" Jimin membalas dengan pertanyaan.
Taehyung berdiri, memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Menunggumu," jawabanya. "Tenang saja, aku bilang pada ayah kalau kau ada tugas kelompok jadi pulang terlambat." Taehyung mengalungkan tangannya pada lengan Jimin, "Kau tidak akan dimarahi malam ini." ucapnya senang.
Jimin berdecak, berusaha melepaskan tangan Taehyung yang masih mengalung di lengannya. "Lain kali, jangan campuri urusanku. Mau aku dimarahi ayahmu, itu jadi urusanku." Jimin mendahului Taehyung masuk ke dalam rumah yang sudah sepi.
Taehyung mendenkus, kemudian berlari mengejar Jimin, kembali mengalungkan tangannya di lengan Jimin, "Kau pasti belum makan, kan? Bibi Nam membuat sup jagung kesukaanmu, ayo aku temani kau makan." Tidak menunggu jawaban Jimin, Taehyung menarik Jimin menuju dapur.
Jimin mendaratkan bokongnya ke bangku di depan meja pantry, melihat Taehyung yang sibuk memanaskan sup jagung dalam panci, sembari bersenandung kecil. Jimin memperhatikan sambil berpikir, bagaimana bisa anak ini sangat ceria di rumah, atau setidaknya di depan Jimin, tapi terlihat menyedihkan saat di luar.
"Itu panas, Taehyung." Jimin mendorong Taehyung agar menyingkir dari depan panci. Jimin mematikan kompor, mengambil mangkuk menuang sup jagung secukupnya, membawanya ke meja pantry,sementara Taehyung sudah menyiapkan semangkuk nasi, dan kimchi lalu menuangkan air putih untuk Jimin.
Jimin makan dengan tenang, tidak bicara apa-apa, Taehyung juga sama, dia hanya bertopang dagu sembari mengamati Jimin makan.
"Bagaimana tanganmu?" tiba-tiba Jimin bertanya.
Tubuh Taehyung menegak, "Tanganku? Tanganku tidak apa-apa."
Jimin meletakan sendoknya, menarik tangan kanan Taehyung, menaikan lengan baju Taehyung, menunjuk pada luka goresan panjang yang terlihat masih baru. "Ini."
Taehyung menarik tangannya, "A-aku tidak sengaja," Taehyung terkekeh, "Kau tahu kan, aku selalu ceroboh."
"Kau bukan ceroboh, tapi bodoh! Bodoh dan lemah! Kau harusnya membalas mereka, kau itu bukan bahan lelucon, Tae!"
Bukannya marah karena omelan Jimin, Taehyung malah tersenyum. Jimin mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat berpikir bahwa Taehyung mungkin sudah kehilangan kewarasannya karena tersenyum pada Jimin yang terlihat kesal.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, kak. []
KAMU SEDANG MEMBACA
APRICITY ✔ [ SUDAH TERBIT ]
Fanfiction[Sudah tersedia di Gramedia] "Jimin, musim dingin berikutnya kita harus bahagia"