Part 20: Tentang Rasa

753 41 4
                                    

Di suatu sore.

Tante Maryam hanya mampu memandang keponakan perempuannya di balik pintu kayu di ujung koridor lantai dua dirumahnya. "Mau kemana, nak?" Tante berdiri

Zayna melirik sejenak ke arah pintu kamarnya, "Masuk, tante. Kenapa diem aja disana." Ia menyambut bibinya dengan senyuman lebar, lalu menghampiri wanita paruh baya yang terdiam disana.

"Zayna mau ke perpustakaan. Tidak jauh dari sini, kok. Zayna bisa berangkat sendiri." jelas Zayna seraya mengangguk yakin. Ia benar-benar tak ingin sepenuhnya bergantung pada keluarga adik ibunya selama menunut ilmu disini.

"Harus ikut makan malam, ya! Kamu akhir-akhir ini sering banget keluar, ujung-ujungnya gak ikut makan malam." Komentar bibinya sekaligus protektif.

"Iya tante..." ucap Zayna sembari mencubit kedua pipi adik ibunya
"Dah, Zayna berangkat. Assalamu alaikum"

"Wa alaikum salam, hati-hati!"

"Iya!" Seru Zayna yang telah berjalan menuju anak tangga. Abaya nya terkibas-kibas kala kaki jenjang Zayna dengan cepat menuruni anak tangga. Ya, ini adalah Zayna yang berbeda. Zayna dengan abaya hanya dapat dijumpai saat pengajian di rumah. Ia dan jubah hitam itu tak terlalu bersahabat. Namun beberapa bulan terakhir, stok abaya di almarinya membludak. Entah berawal darimana ia berpikir untuk mengoleksi abaya.

••••

Gadis yang mengenakan abaya hitam yang juga senada dengan penutup kepalanya berjalan pelan di hadapan barisan buku . Ia berhenti di depan kumpulan buku sejarah. Jari telunjuknya berjalan dari tepi satu buku ke buku yang lain - kemudian terhenti pada Benim Adım Kırmızı—My Name is Red, Zayna memilih buku berbahasa turki itu kemudian dibawanya untuk ia baca. Sebagai wanita yang cerdas dalam berbagai bidang, terutama bahasa, Gadis dua puluh empat tahun ini tak kesulitan ketika memang harus berhadapan dengan aksara-aksara asing yang datang dari berbagai negara. 

Ia membuka lembar demi lembar dengan perlahan, menghabiskan beberapa kalimat di bait terakhir per halaman di buku ini sekaligus hanyut dalam bacaannya. Saking seriusnya, kedua alis yang lebat itu hampir menyatu, sesekali Zayna membenarkan kacamata minus nya yang melorot.

"Aku boleh duduk disini, kan?" Seseorang rupanya telah mengikuti Zayna kemanapun ia pergi. Sama sekali tidak lucu!

Zayna terperangah. Ia segera beranjak dari kursi tanpa menatap sosok lelaki yang ia kenali hanya dari suara dan aroma yas oud yang semerbak di sekitar ketika ia mulai mendekati bangkunya.

"Zee, tunggu!" Lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Zayna dan menghentikannya untuk pergi.

"Kenapa kau pergi begitu saja saat aku datang? Kau terusik?" Fazza

"Ada apa? Mengapa kemari? Mengapa kau selalu ada dimanapun aku berada?" Zayna menegaskan perkataannya.

"Karena kau akan menjadi bagian baru dari tubuhku, maka aku harus memastikan apakah dirimu layak diperjuangkan.
Batin lelaki itu lantas menatap pergelangan tangan Zayna.

"Kau tak memakainya? Kau tak suka dengan hadiahku?"
Zayna berbalik arah setelah mendengarnya.

"Terlalu mahal untuk pergelangan tangan gadis biasa." Balasnya sambil menatap Hamdan dalam-dalam. "Dan terimakasih, hadiahnya sangat indah. Tetapi aku tak pantas untuk memakainya." Zayna membenarkan sling bag cokelatnya yang melorot dari bahu kanannya. Hamdan mengerutkan dahi sembari bersedekap di depan dada, ia heran. Apa yang ia katakan? Tak pantas memakainya? Gadis ini menolak hadiah dari seorang Putera Mahkota?

Zayna Hanafie (Dear, Hamdan Bin Mohammed 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang