Tentang Rasa

611 32 0
                                    

Seperti malam-malam kemarin, ada sedikit yang berbeda di ruang makan apartemen mewahnya. Wajah sang raja yang semakin menua dengan jambang yang semakin lebat turut serta dalam makan malam untuk beberapa hari disini.

Sedari tadi Putera Mahkota hanya memainkan makanannya namun matanya konsisten melirik sang ayahanda di hadapannya, kemudian kembali mencincang makanannya.

"Apa ibumu belum mengajarkan hal yang satu ini padamu, nak?" Sheikh Mohammed menyinggung perilaku kurang sopan puteranya terhadap makanan.

Spontan, Hamdan meletakkan garpu dan sendoknya.
"Lebih baik ku tinggalkan, bukan? Daripada aku memakannya namun tersisa." Ia hanya bersedekap di depan dada sembari bersandar di kursinya.

"Kasihanilah ibumu. Ia terus memikirkan apa yang kau makan disini."

"Katakan pada ibu, tidak usah memikirkan aku. Jelas-jelas aku tengah berada di tingkat menengah dalam kerapuhan. Bersyukurlah ini belum puncaknya. Putera kalian masih waras." Ucap Hamdan enteng.

Uncle Saeed melirik Sheikh Mohammed dan keponakannya khawatir.

"Nafsu makanku telah hilang." Sambung Hamdan kemudian beranjak lalu membelakangi ayahnya.

"Oh!" Hamdan menyentikkan jari sambil berbalik. "Yang harus ayah tahu, Zayna sudah kaya sejak lahir." begitu yang ia katakan. Hanya sebuah woro-woro tentang kekayaan keluarga Hanafie yang selalu dipertanyakan  oleh sang ayah.

"Silakan melanjutkan makan malam, yang mulia." lanjutnya kemudian meneruskan langkah meninggalkan ruang makan ini.

🍻


Zayna termenung, sepasang matanya hanya menatap makanan yang hanya ia cincang-cincang tanpa memakan nya satu suapan pun. Bilal yang duduk di samping Zayna merasa iba melihat teteh nya terus melamun tanpa memerdulikan makanannya.

"Teh, makan dong. Kasian itu tante udah usaha masakin teteh. Hargai dikit bisa, kan?" Bilal berbisik kepada tetehnya yang menekuk wajah.

"Teteh udah kenyang," Zayna berujar setelah hanya sesuap ia memakan nasi kebuli buatan tante Maryam.

"Zee duluan ya, silakan dilanjutkan makan malamnya." balas Zayna lantas beranjak dari kursi ruang makan.

Tante, Paman, dan Bilal menatapnya melangkah lesu menaiki anak tangga. Beberapa saat kemudian ia mengunci pintu kamarnya dan tak ingin terusik oleh apapun. Sesekali matanya memandang hadiah konyol yang diberikan lelaki itu padanya pada saat ia merayakan hari jadi nya.

Zayna memalingkan pandangan, ia tak ingin terus menerus bergantung pada lelaki itu. Apa selama ini Zayna terlalu banyak berharap untuk hal yang tak pantas ia harapkan? Zayna terlalu kecil untuk bersanding dengan seseorang yang terhormat di negeri terkaya di dunia. Bayangkan, Zayna mulai ngeri memikirkannya.

Jemarinya mulai mengambil buku harian di laci meja, membuka lembar demi lembar kertas dan mencari halaman yang siap menerima curahan hatinya lagi. Kertas tebal tanpa garis dan berwarna kekuningan itu ia elus perlahan sambil menghela napas berat.

Dear, Hamdan Bin Mohammed,

Mungkin belum saatnya untuk kubiarkan dirimu bertahta di singgasana hatiku.

Ketika aku mulai menjauh bukan berarti aku pergi.
Dan ketika aku diam bukan berarti aku melupakan.

Zayna Hanafie (Dear, Hamdan Bin Mohammed 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang