Dua

43 9 5
                                    

“TADA!!!”

Kai berseru sambil merentangkan tangan di depan sebuah bangunan berlantai dua setelah kami berjalan meninggalkan Malioboro. Aku menatapnya dengan alis terangkat.

“Iya?”

Kai menurunkan tangannya lalu berdiri lebih tegap. “Shopping Center!” serunya masih antusias.

“Iya, gue tau. Lalu?” aku memutar otak. Apa yang ia maksud dengan ‘menghilang’ adalah pergi ke sini? Jika begitu tentu saja aku tak akan merasa ‘hilang’. Aku sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini. Jadi, aku tak akan tersesat. “Gue udah pernah ke sini, Kai.”

“Gue tau.”

“Terus?”

“Gue pengin ngajak lo ke suatu tempat.”

Aku mengangkat sebelah alis. Mengulurkan sebelah tangan dan menunjuk gedung dua lantai di hadapan kami. “Kita udah sampai, Kai.”

Kai menggeleng sambil melipat bibirnya. Astaga. Ekspresi itu sangat menggemaskan.

“Belum, Vi. Tapi akan.”

Aku menggelengkan kepala untuk mengalihkan perhatianku dari wajah menggemaskan Kai. “Maksud lo?”

Kai tidak menjawab. Ia kembali menarik tanganku dan mengajakku masuk. Ia langsung membawaku ke lantai dua dan berhenti di sebuah kios yang berhadapan langsung dengan area luar. Aku melihat langit sudah berubah jingga dan semilir angin berembus melewatiku. Rasanya asing, tapi nyaman.

Hey ma bro!”

Aku mengalihkan pandangan kepada si pemilik kios yang kini menarik Kai ke dalam pelukannya. Seorang pria paruh baya dengan topi porkpie berwarna cokelat. Perawakannya tinggi besar. Aku seperti melihat boneka beruang raksasa. Kai tertawa-tawa ketika pria itu sedikit mengangkat tubuh kurus keringnya. Lalu ia memperkenalkan kami ketika kakinya sudah menapak lantai.

“Vi, ini Pak Moris. Dan ma bro, ini Vi.”

Aku menyambut uluran tangan Pak Moris yang raksasa untuk telapakku. Tangannya hangat, dan wajahnya tersenyum bersahabat.

“Halo, Nona Vi. Selamat datang di Dunia Mimpi!”

Aku melihat sebuah plang ukuran sedang di atas kios dan menemukan tulisan “Dunia Mimpi” yang sudah usang, tapi tetap terlihat menyenangkan. Aku tersenyum. Aku menyukai tempat ini.

“Bagaimana suasana Jogja?”

“Menyenangkan, Pak.”

“Ohoo… jangan panggil aku begitu, Vi. Panggil aku ma bro!”

Aku berkerut kening sebelum Kai berbisik di dekat telingaku, namun dengan suara yang masih cukup bisa didengar Pak Moris.

“Lakuin aja. Biar bisa dapet diskon!”

Pak Moris tertawa dengan tawa lebar yang tak tertahan napas sendiri. Caranya tertawa mirip dengan tawa Kai. Lepas, bebas, dan menular.

“Kalian pilihlah buku di sini. Akan selalu ada potongan harga untuk teman.” Pria yang tak ingin dipanggil ‘Pak’ itu mengedipkan sebelah mata sebelum meninggalkan kami untuk melayani pengunjung lain.

“Kalian terlihat akrab.”

Kai mengangguk tanpa memandangku. Tangannya sudah sibuk memilah beberapa buku yang tak dilapisi plastik. Membukanya sejenak, melihat sekilas isinya, lalu mengembalikan dan memilih buku lain.

“Beliau teman baik bokap gue. Setiap gue ke Jogja, gue pasti selalu ke sini. Entah untuk mengobrol lama-lama atau hanya berkunjung untuk menyapa.”

Sketch & StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang