Tiga

39 6 10
                                    

Kai

Tantangan buku adalah permainan yang selalu menyenangkan. Tapi untuk beberapa alasan, termasuk bibir lemes Oom Moris yang nggak pernah disensor, permainan itu menjelma sesuatu yang menciptakan suasana canggung.

Gue nggak pernah tahu bagaimana caranya menghadapi situasi canggung. Apalagi jika itu bersama Vi.

Gadis itu sekarang jadi lebih pendiam. Vi yang biasanya seperti kaleng rombeng ditarik mobil pengantin itu tiba-tiba bak kota Purwokerto pukul 3 dini hari. Sunyi senyap tanpa ocehan.

Ini sedikit lucu, memang. Seharusnya ucapan Oom Moris memang tak memengaruhi kami sedimikian rupa. Toh kami sudah melewati berbagai hal yang dapat memicu kecanggungan lebih besar. Kenapa kali ini kami seperti ini?

Gue menahan lengan Vi dan mengulurkan segenggam permen jelly kepadanya. Vi menatap gue dengan alis bertaut. Pipinya tampak kemerahan dan matanya yang jernih menyiratkan tanda tanya. Gue tersenyum simpul.

“Gue nggak mau omongan Oom Moris malah bikin kita jadi kayak dua orang asing begini. Jadi, terima permen ini, dan kita akan kembali ke mode normal. Setuju?”

Permen jelly seperti sebuah materai bagi kami, yang jika kami terima, maka sah sudah segala perjanjian yang kami buat.

Vi menatap gue dan permen jelly di tangan gue secara bergantian. Tapi sejurus kemudian, dia meraup semua permen jelly di tangan gue, dan mengulum senyum. Menampilkan lesung pipit kecil di sudut-sudut bibirnya.

“Setuju!”

Maka hari ini akan berjalan seperti seharusnya.

***

Gue pertama kali bertemu Vi di perpustakaan sekolah tiga tahun lalu saat kami masih menjadi siswa kelas X. Tepatnya di sebuah pojokan dekat dengan buku sejarah yang setebal dosa. Pojokan itu jarang sekali dikunjungi karena kebanyakan anak-anak lebih memilih sisi perpustakaan yang terang benderang dengan buku-buku bertopik ringan.

Gue yang pada saat itu membutuhkan ruang sunyi untuk membuat sketsa, pergi ke sudut rak buku sejarah dan malah menemukan cewek asing sedang tertidur dengan earphone terpasang di sebelah telinga.

Ya… sebenarnya bukan asing juga. Gue sudah mengenal wajah Vi sebagai sekretaris kelas yang mulutnya seperti petasan Cina. Tapi waktu itu gue belum tahu namanya.

Gue nggak pernah suka jika tempat-tempat rahasia gue ditemukan oleh orang lain.

Sebanrnya gue punya dua pilihan waktu itu. Mengusir cewek yang mencuri pojokan gue atau merelakan pojokan itu dan mencari tempat rahasia lain. Tapi lucunya, yang gue lakukan adalah duduk di samping cewek itu dan menggambar dengan tenang.

Dipikir-pikir lagi, sedikit aneh memang. Gue yang nggak akan bisa menggoreskan apapun kalau ada orang di jangkauan mata gue, tiba-tiba aja nggak merasa keberatan untuk menggambar di samping cewek itu.

Lama setelahnya, Vi baru membuka mata dan langsung beringsut ke sudut begitu sadar ada gue di sana. Gue nggak akan pernah lupa bagaimana mata Vi menjadi sangat lebar dan waspada. Lalu dengan suara yang dibuat segalak mungkin, dia mengomeli gue.

“Ngapain lo di sini? Ini pojokan gue!”

Gue yang pada dasarnya udah jatuh cinta sama pojokan itu pun mendebat. Pada akhirnya kami memperebutkan pojokan yang sebenarnya bukan milik siapa-siapa itu. Kami baru berhenti ketika seseorang di antara kami‒gue lupa itu siapa‒membuat penawaran untuk berbagi. Kami pun sepakat untuk membagi pojokan itu dan menamainya pojok rahasia. Sampai sekarang, gue masih sangat suka sebutan itu.

Vi menjadi lebih ramah setelah kesepakatan kami. Ia merogoh kantong seragamnya dan mengulurkan segenggam permen jelly kepada gue sebagai tanda pertemanan. “Gue Vi. Lo Kai, kan?”

Dengan begitu, kami resmi berteman.

Selanjutnya, kami sering menghabiskan waktu di pojok rahasia. Kami pergi ke sana tanpa janji temu. Rasanya seperti memang di sanalah kami seharusnya berada.

Di pojok rahasia itulah kami berbagi rahasia. Curhatan-curhatan ringan tentang hal-hal tak penting, mengerjakan tugas rumah bersama, bermain tantangan buku, dan melakukan kegiatan tak penting lainnya.

Tapi lebih sering, kami berbagi pojok rahasia untuk dunia masing-masing. Dia dengan novel-novel atau tulisan yang belum usai, gue dengan komik atau sketsa yang belum rampung. Kami berbagi bekal makan siang atau camilan ringan, dua kotak susu cokelat dingin, dan musik-musik random dari seperangkat I-Pod dan earphone yang menghubungkan telinga kirinya dengan telinga kanan gue.

Pada saat itu, pertemanan kami sudah mencapai titik dimana kami tak memerlukan bahan pembicaraan jika memang tidak ada. Cukup dengan keberadaan satu sama lain, kami merasa baik-baik saja.

Berteman dengan Vi terasa seperti sebuah petualangan. Kepribadiannya yang unik membuat gue nggak pernah merasa bosan berlama-lama berada di sana sebagai temannya. Terkadang dia bisa seperti toa orang demo minta kenaikan gaji. Kadang dia sunyi senyap seperti orang bisu. Kadang pula ia bisa berubah menjadi gadis galak yang sulit didekati.

Untuk yang terakhir, Vi bilang bahwa hanya gue yang bisa menenangkannya ketika ia sedang naik darah. Entah karena apa, gue seneng mendengarnya.

Begitulah pertemanan kami terjalin. Jujur dan apa adanya.

Tentu saja kami juga pernah bertengkar. Tapi kami akan selalu berakhir di pojok rahasia dengan puluhan permen jelly sebagai permintaan maaf. Sampai akhirnya, gue merasakan sesuatu yang lain.

Gue nggak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Kepakan sayap kupu-kupu di perut ketika Vi tersenyum pada gue? Rasa nyaman ketika Vi berbagi sebelah earphone-nya kepada gue? Atau rasa kangen ketika Vi pergi ke rumah neneknya ketika libur semester?

Gue nggak pernah tahu. Yang jelas, gue selalu senang karena Vi adalah orangnya. Karena Vi-lah yang ada di sana mencuri pojok rahasia gue. Berbagi musik-musik aneh dan bekal makan siang. Berbagi pertemuan-pertemuan tanpa jani temu kami.

Begitu saja, gue sudah merasa bahagia, lalu memutuskan untuk menikmati momen-momen kebersamaan kami tanpa berpikir.

Termasuk saat ini. Momen ketika Vi sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghabiskan ramen level 1. Tentu saja bagi Vi yang fobia pedas, ramen level 1 sudah cukup membuat lidahnya terbakar.

Gue tergelitik untuk mengambil kamera dan mengabadikan momen langka ini. Tanpa sepengetahuan Vi, gue selalu diam-diam memotret dia dengan kamera polaroid ini. Jangan tanya kenapa dan sejak kapan. Gue nggak tahu dan nggak ingat. Yang jelas, koleksi gue sudah banyak banget dan tersimpan dalam sebuah kotak di laci meja belajar.

Gue mencari fokus yang tepat sebelum membidik diam-diam. Dan gue berhasil mendapatkannya. Wajah Vi yang merah padam karena kepedasan, keringat di dahi dan pelipis, sejumput rambut yang keluar dari kucir asal-asalan Vi, membuat gue tergoda untuk mengulurkan tangan dan menyisipkannya ke belakang telinga.

Vi mendongak sambil memejamkan mata. Sudut-sudut kelopaknya tampak berair. Ada sedikit noda kuah di ujung bibirnya. Bibirnya sendiri tampak merah karena kepedasan. Bibir itu… entah kenapa membuat gue ingin me…

“Kai!”

Panggilan Vi menyadarkan gue dari lamunan. Astaga! Gue malamun?

“Ya? Apa?”

“Gue mau pesan minum lagi. Lo mau juga?”

Gue menggeleng tanpa ekspresi. Otak gue tiba-tiba kosong. Apa yang barusan ingin gue lakukan?

***

Sketch & StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang