Empat

35 8 0
                                    

Ovian

Dengan melupakan insiden di Shopping Center, perjalanan ini luar biasa menyenangkan.

Kami menghabiskan sisa waktu di Malioboro. Menyaksikan musisi jalanan, atraksi api, pemain sepatu roda, pernak-pernik yang dijajakan di pinggir jalan, dan semangkuk ramen super pedas‒menurutku.

Sepuluh menit sebelum jam 8 malam, kami memutuskan untuk kembali ke bus. Dinda mungkin akan benar-benar meninggalkan kami jika kami tak datang tepat waktu.

“Menurut lo gimana?”

Kai menunjukkan sebuah polaroid padaku. Gambar seorang pria dengan api menyembur dekat mulutnya. Aku mengangguk tanpa komentar. Hasil jepretan Kai selalu bagus. Sama seperti hasil goresan tangannya. Jika sudah di Jepang nanti, dia pasti akan menjadi mahasiswa yang hebat.

Aku menunduk. Benar. Ini adalah malam terakhir kami bertemu. Meski sudah berjanji pada diriku sendiri untuk melupakan kenyataan itu, tetap saja rasanya mengganggu. Apa setelah ini kita akan bertemu lagi?

“Kenapa nggak?”

Aku menatap Kai dengan bingung. Apa katanya tadi? Apa kataku tadi? Astaga! Apa aku baru saja mengutarakan apa yang kupikirkan?

“Kita masih bisa ketemu kalau gue libur kuliah. Jangan khawatir, Vi. Asalkan lo masih punya permen jelly, gue rasa kita akan terus berteman.”

“Begitu?” Aku meragu. Entah kenapa, sesuatu tentang ucapannya terdengar sedikit mustahil.

Kai berhenti melangkah dan menahan tanganku, membuat langkahku ikut tertahan.

“Vi, ini zaman canggih! Smartphone udah memudahkan kita semua buat berkomunikasi. Jangan lebay, deh. Atau lo mau gue WA lo satu jam sekali?”

Jika bisa begitu… bisakah begitu?

Kali ini Kai tersenyum simpul. Entah magis apa yang ia lakukan padaku, ada sejenis perasaan tenang ketika aku melihatnya.

Tangannya terulur dan mengacak puncak kepalaku. Aku tak pernah suka jika seseorang melakukan itu padaku. Tapi jika itu Kai, entah mengapa, aku menyukainya.

Kai lalu merogoh ke dalam kantung celana jeansnya dan mengeluarkan sebutir permen jelly untukku. “Kita akan terus berteman.”

Aku mengangguk. Aku selalu percaya pada Kai.
Sekali lagi, Kai mengacak rambutku sebelum kami melanjutkan langkah menuju bus rombongan.

Baru sebentar berjalan, hujan tiba-tiba turun. Deras pula.

Kami berlari ke sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat kami berdiri. Kami mengusap lengan baju kami yang sedikit basah. Hujan membawa hawa dingin ke pelataran kedai kopi ini. Kai bahkan sampai meminjamkan jaketnya padaku.

Aku melirik jam. Ini sudah pukul 8 malam. Seharusnya kami sudah berada di dalam bus.

Aku melihat ke dalam kedai. Suasanya tampak temaram dan hangat. Musik waltz yang lembut samar-samar terdengar dari dalam. Aku kembali melihat jalan. Orang-orang berlarian mencari tempat teduh. Sebagian lagi merapatkan tubuh di bawah payung.

Aku merogoh tas kecilku. Aku harus mengabari Dinda dan mengatakan bahwa kami terjebak hujan.

“Vi…”

“Hemm…”

Aku bergumam sekadarnya. Dimana ponselku?

Have you ever dancing in the rain?”

Kali ini aku mendongak dan mendapati Kai menatapku dalam. Tak ada kilat jahil di sana. Yang kutemukan adalah sebuah keseriusan. Lalu dengan tetap menatapku, Kai berjalan menembus hujan dan berdiri di tengah trotoar, mengulurkan sebelah tangannya, mengajakku bergabung.

Sketch & StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang