Setelah berulang kali mencoba menelepon dan tak ada satu pun panggilannya di jawab. Bagas akhirnya mengirim teks kepada Clara.
Bukan hal yang biasa, Clara tiba-tiba berubah pikiran seperti tadi. Pasti ada sesuatu yang penting yang membuatnya memilih berhenti.
Bagas E. : Cla?
Bagas E. : I know you're not okay. Aku nggak akan maksa kamu untuk cerita ke aku skrg jg. Tapi ... tolong jgn gegabah. Kalau km ada masalah sm Ardi aku bisa cariin orang lain utk bantu masalah mini cafe kamu.
Bagas E. : Aku selalu ada buat kamu. Kapanpun kamu butuh aku.Pesan dari Bagas sama sekali tak digubris oleh Clara. Gadis itu hanya membacanya sekilas di notifikasi saja. Ia merasa belum siap untuk menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada Bagas. Bukan karena ia merasa Bagas adalah orang asing. Sama sekali bukan. Namun, karena Clara merasa belum saatnya Bagas tahu bagaimana masa lalu Clara. Apa yang pernah terjadi pada Clara. Gadis itu merasa cepat atau lambat Bagas memang harus tahu tapi bukan sekarang. Dan Clara hanya bisa berharap, ketika Bagas tahu masa lalunya. Segala di antara mereka tak ada yang berubah. Yah, mungkin itu yang membuat Clara takut untuk lebih cepat berterus terang. Clara takut, kejujuran dan keterbukaannya akan masa lalu membuatnya harus mendapat perlakuan berbeda dari Bagas. Sedang Clara, sudah merasa nyaman dengan apa yang ia jalani dengan Bagas.
Di sudut ruangan lain, Bagas tengah menunggu balasan dari Clara. Tentu saja, karena dia ingin tahu apa yang membuat Clara tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan rencana yang bahkan kemarin membuatnya begitu antusias. Bagas kenal Clara bukan hanya sehari dua hari tapi sudah bertahun-tahun. Ia hapal betul sifat Clara. Yah, meski hanya sifat luar semata. Karena Bagas tidak tahu menahu banyak hal tentang kisah lalu Clara. Termasuk masa lalunya yang Bagas yakin ada hubungannya dengan Ardi itu.
Clara bagi Bagas adalah edelweis. Cantik, namun sulit di gapai, sulit di tebak. Penuh dengan sejarah hingga ia bisa bertahan dengan cantiknya di tempat yang tak semua orang bisa memandang. Namun Bagas yakin ia bisa untuk menggapai edelweisnya.
Entah sejak kapan perasaan itu ada. Semua mengalir begitu saja. Benar kata pepatah, witing tresno jalaran seko kulino. Rasa cinta ada karena terbiasa. Terbiasa bersama, hingga akhirnya nyaman dan merasa cocok.
Clara bagi Bagas adalah wanita yang istimewa. Bagas suka bagaimana Clara berjuang. Bagaimana Clara membangun komitmen dalam bisnisnya. Bagaimana Clara menghadapi banyak hal yang Bagas tahu tidaklah mudah. Terlebih Clara yang kini hidup sendiri tanpa arahan dari orang tua dan jauh dari kakaknya. Bahkan jika Bagas berada di posisi Clara, ia tak yakin bisa mencapai apa yang kini telah Clara punya.
***
Hari berlalu, pagi-pagi sekali Clara sudah terbangun dan kini ia sudah berada di dapur. Clara ingin membuatkan pancake untuk Bagas hari ini, sebagai permintaan maaf atas sikapnya kemarin yang Clara sadar itu sangat kekanakan sekali.
Meskipun Clara tak pandai memasak, namun kalau hanya membuat pancake ia cukup bisa. Lagian jaman sekarang kan serba praktis. Clara hanya perlu membeli pancake instan dan membuatnya sesuai cara memasak yang tertera di box nya. Clara tahu rasanya pasti tak seenak buatan Bagas yang pandai memasak itu, tapi paling tidak pancake instan yang ia beli itu menyelamatkannya dari sakit perut akibat rasa yang tak karuan jika saja ia mencoba membuat adonan sendiri lewat resep di google. Seperti saat ia ingin memasak soto dan berpedoman pada resep di internet. Bukannya mendapat rasa yang enak tapi justru membuatnya mual. Yah, salah Clara memang. Karena ia salah memasukkan bumbu. Yang harusnya ia masukan merica ia justru memasukkan ketumbar, yang harusnya ia masukkan kunyit ia justru memasukkan kencur. Iya, segitunya Clara payah dengan bumbu dapur. Makanya sejak saat itu Clara jadi malas belajar masak. Kalaupun ia ingin masak ia akan membeli sesuatu yang instan tanpa perlu meracik sendiri bahannya.
Setelah selesai membuat pancake, Clara lantas mandi dan bersiap untuk ke toko.
"Pagi, Gas." Sapa Clara pada Bagas yang sudah datang lebih dulu. "Udah sarapan belum? Aku bawain pancake buat kamu."
"Pagi Cla. Belum, kamu masak sendiri?" jawab Bagas.
Clara mengangguk lalu meringis menyodorkan pancakenya, "iya dong. Pancake instan sih, kayaknya sih enak. Kamu coba ya."
Bagas menerima pancake itu dan tersenyum, "oke, makasih ya."
Clara mengangguk, "duduk deh, aku buatin coklat panas."
Bagas pun mengiyakan ucapan Clara, ia duduk di bangku depan dan mulai memakan pancake buatan Clara. Tak lama, Clara kembali dengan secangkir coklat panas.
"Gimana Gas? Enak nggak?" tanya Clara.
"Enak Cla. Tapi lebih enak buatanku," sahut Bagas.
"Iya iya, tahu deh yang pinter masak. Nih minumnya," ucap Clara. Gadis itu lalu meletakan secangkir coklat panas itu di meja dan kemudian turut duduk di samping Bagas.
"Gas, maaf ya buat yang kemarin. Sikapku ..."
"Udah, nggak apa-apa. Nggak usah di bahas lagi." Belum selesai bicara, Bagas sudah menginterupsi. "Kamu tahu, aku mengerti. Kamu bisa cerita kapanpun kamu mau."
Clara mengangguk. Nggak tahu lagi dengan sikap Bagas padanya. Selalu memperlakukan Clara dengan lembut.
"Kamu yakin batalin niat kamu buat bikin mini cafe?" tanya Bagas. "Aku bisa cariin orang lain untuk bantu dekorasi."
"Nggak tahu, Gas. Nanti aku pikir-pikir dulu deh. Soalnya, toko juga lagi rame kan. Takut nggak ke handle dengan baik. Lagian juga, aku pengennya kan sebelahan sama toko ini. Jadi nanti bakal ngefek ke pengunjung juga proses pembuatannya," jawab Clara.
"It's okay. Terserah kamu aja."
Bersambung ...
Salam,
Arinda😘
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Word #Wattys2017
ChickLit[[Slow Update]] Sebenarnya, siapakah aku di hidupnya? Dia partner kerjaku, sahabatku, sekaligus assistant pribadiku. Dia menemani hari-hariku, membantuku mengurus Ara Florist yang sudah cukup lama kubangun. Akhir-akhir ini, ia nampak berbeda. Bukan...