Happy reading and don't forget to vote.
####
Alif adalah satu dari sekian banyak orang yang memperhatikan bagaimana perubahan Bian yang begitu signifikan setelah berpisah dari Nesa, mulai dari dia merasa bahagia sampai menderita karena perpisahannya dengan Nesa. Bian begitu banyak berubah bahkan penampilannya juga sangat berbeda dari Bian yang dulu, sekarang wajahnya sedikit lebih kusam karena memikirkan Nesa, meski dirinya tetap berpenampilan baik karena menjadi salah satu CEO tapi wajahnya terlihat lebih tua dibanding usinya saat ini. Bahkan pernah suatu ketika Alif bertanya kenapa Bian mengabaikan penampilannya, dengan tegas Bian mengatakan untuk apa penampilan menarik kalau dia tidak bisa kembali dengan Nesa. Telat Bian, pikir Alif.
Keluarga Nesa memang memaafkan Bian tapi bukan berarti mereka melupakan apa yang telah Bian perbuat terhadap Nesa, namun mereka menyerahkan kembali Nesa dan Bian. Bukan kesalahan anak mereka sepenuhnya, tapi juga karena mere juga terlalu gegabah menjodohkan keduanya sampai akhirnya berakhir cerai. namun keepannya mereka berharap tidak akan masuk ke jurang yang sama dua kali, meski Bian berubah tapi tetap saja keluarga Nesa belum rela kalau mereka kembali bersama.
"Nak Alif, Nak Bian harus dibawa ke rumah sakit. Sepertinya gejala typus kemarin bukan gejala lagi tapi sudah jadi penyakit." Saran dokter yang tadi dipanggil Alif ke apartement Bian. Tadi saat melihat Bian tergeletak tak berdaya di kamarnya dengan sigap Alif memapah Bian ke tempat tidur dan segera memanggil dokter yang dulu pernah menangani Bian.
"Saya ikut saja apa kata dokter. Lagian anak ini memang bandel, dok." ucap Alif dan juga tidak lupa memarahi Bian yang sedang tidak sadarkan diri.
"Baiklah saya akan panggilkan ambulans dari rumah sakit untuk ke sini."
"Terima kasih, dok. Dokter bisa kembali ke rumah sakit kalau masih ada pekerjaan di sana. Kami akan menyusul." Alif mengantar dokter Fadlan keluar.
"Baiklah, kalau nak Bian sudah sadar berikan dulu obat yang tadi sengaja saya bawa, ini bisa mengurangi rasa sakitnya, dan segera berikan ia air hangat dan minta dia untuk makan ya walau sedikit."
"Iya, dok."jawab Alif seraya mengangguk mengiyakan. Setelah mengantar dokter keluar, Alif kembali ke kamar dan melihat Bian masih belum sadarkan diri. Setengah jam berlalu dan ambulanspun datang membawa Bian ke rumah sakit.
Setelah menyelesaikan administrasi Alif kembali ke kamar rawat Bian dan melihat Bian sudah duduk bersandar di kepala ranjang dengan memegangi kepalanya.
"Jangan dipaksakan kalau masih sakit." Ucap Alif seraya menyerahkan obat dari dokter beserta air minum.
"Alif? Kamu ada di sini?" tanya Bian
"Melihatmu tergeletak di depan pintu, sudah bosan hidup?" Alif duduk di samping brankar Bian. Memastikan sang sahabat meminum obatnya.
"Hmm ...," balas Bian dengan senyum meremehkan. Bukan meremehkan Alif namun meremehkan hidupnya yang penuh kesia-siaan. Bian dengan terpaksa meminum obat yang beberapa saat lalu berubah menjadi musuhnya.
"Tadi saat kau telpon, aku mendengar suara, Nesa. Padahal aku tahu Nesa tidak bersamamu, sepertinya aku mulai gila, Lif, sampai-sampai suaramu saja aku anggap sebagai suara Nesa." Suara Bian lirih tapi masih bisa didengar oleh Alif.
"Lupakan Nesa, Bian. Dia sudah bahagia dan kamu juga perlu untuk bahagia." Alif mencoba menasehati Bian agar tidak berharap pada adiknya yang mungkin sudah bahagia.
"Mudah, Lif, kamu mengatakan itu tapi rasa itu tidak akan mudah dilupakan."
"Rasa itu hanya rasa bersalahmu pada Nesa bukan cinta. Kamu hanya masih belum mendapatkan maaf dari Nesa makanya sampai saat ini kamu belum bisa move on." Tidak ada balasan dari Bian.
Sunyinya ruangan membuat Alif kembali teringat tentang foto pernikahan Bian dan Nesa yang terpasang di kamar Bian.
"Kapan kau mau menurunkan foto pernikahan kalian. Dosa kalau kamu masih menyimpan foto Nesa. Dia bukan lagi mahrom kamu Bian." Tanya Alif lagi.
"Aku masih berharap kami bisa menikah lagi. Aku yakin bahagia Nesa adalah bersamaku." Ucap Bian keras kepala. Membuat Alif menggeleng kepalanya menolak gagasan Bian.
"Jangan terlalu berharap."ucap Alif
"Kau akan menentang kalau Allah menjodohkan kami lagi?" Tanya Bian dengan sarkasme, membungkam penolakan Alif.
"Melihat bagaimana dirimu dan Nesa saat ini aku tak yakin Allah akan menjodohkan kalian kembali. Bukankah jodohmu adalah cerminan dirimu?" Sindiran Alif cukup mengena pada hati Bian. Membuatnya tertunduk lesu dia memang belum sebaik Nesa untuk bisa berharap bisa kembali berjodoh pada Nesa. Perpisahan kemarinpun bukan karena Nesa tidak baik untuknya tapi sebaliknya karena dirinyalah yang tidak baik untuk Nesa.
"Aku akan berubah akan kupastikan itu."
***
Malam semakin larut, Alifpun sudah lelap dengan tidurnya, sedangkan Bian masih terjaga, ucapan Alif benar-benar menohok dirinya.
Aku sadar aku dan kamu saat ini sudah tak lagi menjadi kita, itu salahku. Aku dan kamu saat ini sudah menjadi dua orang asing yang bahkan mungkin tak ingin lagi saling mengenal, tapi aku masih berharap aku dan kamu bisa lagi bersama, Nesa. Batin BianAku akan buktikan padamu dan semua orang bahwa aku bisa menjadi sosok imam dalam keluarga kita kelak, dan aku percaya Allah akan selalu berama orang yang selalu berdoa dan berusaha. Lanjut Bian dalam hati.
Tapi kalau benar kamu sudah menikah bukankah itu semua percuma?
Tbc
Nggak papalah pendek asal sering updatenya.
Siapa yang nunggu cerita ini coba?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaulah Bidadariku
Romance"Mari kita berpisah." Ucapan Bian bak anak panah yang dengan bebas menikam jantung dan hati Nesa. Hancur lebur sudah harapannya mempertahankan pernikahan yang baru ia bina. Cintanya tak mampu membuat sang suami untuk sudi memandangnya. #1 Maaf 25-04...