"Mari kita berpisah."
Ucapan Bian bak anak panah yang dengan bebas menikam jantung dan hati Nesa. Hancur lebur sudah harapannya mempertahankan pernikahan yang baru ia bina. Cintanya tak mampu membuat sang suami untuk sudi memandangnya.
#1 Maaf 25-04...
Don't forget vote and coment ya gaes. 😂😂😂😂 Happy Reading.
###
Bian menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada di dalam apartementnya. Pikirannya kembali melayang pada situasi di kantor saat dia menelpon utusannya yang sedang mencari Nesa dan memarahinya habis-habisan. Bagaimana bisa anak buahnya kecolongan tidak menemukan keberadaan Nesa sedangkan dengan mudahnya Tania bisa bertemu dengan Nesa. Pasti ada konspirasi yang dilakukan tanpa dirinya tahu. Pikir Bian frustasi.
Kalau seandainya Bian mau berpikir egois, kejadian ini bukan hanya kesalahananya semata namun ada campur tangan Tania sehingga ia menceraikan Nesa tapi kenapa hanya dia yang dihukum. Tania juga ikut andil, karena kedatangan Tania jugalah dirinya bisa dengan mudah berpikir untuk menceraikan Nesa. Tapi Bian kembali sadar ada atau tidaknya Tania, Bianlah yang bersalah di sini. Dirinyalah yang sudah menjadi suami yang tidak bertanggung jawab dan melepaskan bidadari sebaik Nesa. Dirinya lelaki yang hanya melihat sekilas mata namun melepaskan mutiara hanya untuk mencari kerikil di tumpukan pasir.
"Nesa, Nesa. Benarkah kamu sudah menikah?" tanya Bian pada dirinya sendiri. Pikirannya melayang pada perceraiannya dengan Nesa yang baru setahun berlalu tepatnya 370 hari 20 jam 30 menit lewat 15 detik. Sehafal itu Bian menhitung waktu perpisahannya dengan Nesa. Hmm tapi sayangnya sehafal apapun Bian akan perpisahannya itu hanya akan membuat dirinya semakin menderita.
"Satu tahun? Mungkinkah dengan cepatnya Nesa menikah lagi? Bukankah ada masa iddah? Sedangkan kehamilan normal itu sembilan bulan? Apakah Nesa hamil sebelum kami bercerai? Apakah Nesa selingkuh?" bisik Bian dengan pemikiran-pemikiran yang menghantui pikiran Bian. "Tidak. Meski aku dulu tak mengenalnya dengan baik tapi aku yakin dia bukan perempuan yang suka menghianati suatu hubungan. Lalu apa itu anakku? Tapi itu juga tidak mungkin, karena tujuh bulan menikah dengannya nafkah lahir batin saja aku tidak pernah memberikannya." Racaunya masih dengan kebingungan.
Bian menyugar rambutnya frustasi. Bangkit dari sofa Bian menuju kamarnya. Tepat di depan foto pernikahannya, Bian berdiri memandang foto Nesa yang tersenyum. Dirinya? Ah kalau bukan karena arahan fotografernya dirinya mungkin tak akan mau memandang wajah istrinya itu. Bian memang sosok yang arogan dan egois, tapi itu dulu. Saat ini kalau pernikahan itu terulang kembali dia pasti tidak akan menolak kalau dua puluh empat jam memandang wajah Nesa. Pikir Bian.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Nesa, benarkah dengan mudahnya kau mencari penggantiku? Kalau benar begitu, mana bukti bila kamu setia dan tidak akan ada lelaki lain selain diriku?" Bian menjatuhkan dirinya dan bertumpu pada kedua lututnya. "Aku berubah Nesa, aku bukan lagi Bian yang dulu. Kumohon kembalilah." Ucap bian dengan berlinang air mata
Dasar manusia egois. Kau sendiri yang membuangnya 'Bro' jadi kalau Nesa dapat yang lebih baik dari kamu ya biarin. Suara salah satu temannya yang tadi sempat ia ajak ketemuan kembali terngiang.
"Akkkhhhhhh, NESAAAA" teriak Bian. Untungnya kamar ini kedap suara, kalau tidak bisa-bisa teriakannya terdengar keluar kamar. Meski tinggal sendiri tapi tetap saja jarak kamar dengan balkon apartemant dekat. Teriakan kencang bisa masuk ke ruang keluarga di sebelah kamar apabila tidak ditutup.