Ai

5 0 0
                                    

BAB VII: Ai

Melihat kebawah kemudian menatap ke langit biru, membayangkan sayap-sayap burung itu yang kita pikir mampu menyentuh awan putih yang bergelantungan tanpa benang diatas sana. Aku membuka jendela kamarku, ku hirup udara segar pagi hari sambil menikmati kicauan burung tanpa ku ketahui namanya yang berkeliaran hinggap didaun-daunan pohon sekitar rumahku. Aku merentangkan tanganku, memanjakan rasa kantukku yang masih dominan walaupun mata telah terbuka karena silaunya mentari diawal musim semi.

Drrttt-drrrttt

Aku segera mengambil ponselku, aku tersenyum melihat layar ponselku. Pesan darinya lagi.

Jari tanganku dengan sigap langsung membalas pesan yang membuatku merasa mendapatkan suntikan vitamin di pagi hari.

Iya, semangat berkerja cintaku~

Begitulah bunyi pesan yang ku ketik pada si pengirim pesan. Tak lama kemudian balasannya pun sudah tiba.

Aku selalu mencintaimu~

Bibirku langsung menampakkan senyuman lebar, rona wajahku menjadi seperti blush-on model maksimal. Aku lalu merebahkan diri kembali di kasueku. Ku tatap langit-langit kamarku. Apa yang aku lakukan ini sudah benar?

Masih terbayang jelas wajahnya, seseorang yang setengah beku ditengah malam hari penuh salju yang deras, dengan masih memakai stelan kebanggaannya, menungguku dengan senyum pucatnya.

"Chun Bin-ahh, akhirnya kamu datang juga" kata sosok itu. Aku terkejut setengah mati melihat wajah tirusnya pucat pasi dengan biBubir yang hampir membiru.

"HYA!! Kamu gila ya? Sedang ngapain kamu disini?" aku berlari mendekati sosok tersebut dan memapahnya masuk ke rumah. Tubuhnya dingin, terdengar gertakan gigi menahan kedinginan. Baju yang dikenakan penuh dengan salju yang turun ditengah Desember.

Aku mengambil handuk serta kaos panjang dengan ukuran terbesar yang aku punya. Aku juga mengambil selimut kesayanganku, ku minta dia segera berganti pakaian takut-takut tubuhnya tak lagi menahan dingin. Aku membuat chocholate panas pemberian Jeong Hwan.

Ku lihat dia sudah mengganti pakaiannya, bibirnya masih menggigil kedinginan, namun tak lagi wajahnya menampakkan kedinginan.

"Oppa, kenapa nggak masuk aja sih. Oppa sudah gila ya?" amukku sembari memberikan coklat panas padanya. Aku lalu duduk disampingnya.

"Bukannya dengan begini terasa romantis?" tanyanya dengan senyuman yang tak lagi aku rasa biasa.

"Apa maksudnya sih Oppa?" tanyaku mulai kesal. Aku menyalakan televisi, semua acara tengah malam yang kurang aku sukai, ku putar terus channel berharap aku bisa berhenti disalah satunya dan menikmati. Namun semakin aku mencari semakin aku kesal.

Suasana menjadi hening, sesekali terdengar suara dia menikmati coklat panas itu. Desah nafasnya yang keras mengganggu telingaku. Aku menambah volume televisi. Aku membuka hpku berpura-pura membalas pesan yang tidak ada. Dia masih menikmati coklat panasnya, tanpa aku sadari matanya sedari tadi tak berpaling sedetikpun dari memperhatikan gerak-gerikku.

Aku menangkap matanya yang sedang menatapku, ku lihat gelasnya sudah kosong.

"Kenapa?" tanyaku kesal ditatapnya. "Mau minta ku bikinkan coklat panas lagi?"

Dia tetap diam membisu.

Aku berdiri dengan ogah-ogahan hendak membuatkannya minuman itu lagi. Tangannya meraih tanganku, menahanku dengan keras hingga aku merasakan sakit dipergelangan tanganku.

AlwaysWhere stories live. Discover now