Atribut Baru

10.4K 1.5K 102
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Matanya sudah biasa melihat Shareen dalam tampilan kekurangan kain. Bahkan, ia pernah beristighfar saat melihat Shareen ke kampus dengan pakaian yang sangat minim, sampai-sampai beberapa dosen mengingatkan.

Namun, hari ini, ia sampai harus mengucak matanya. Menerawang lebih pasti, apakah ia sedang berhalusinasi atau memang benar ia melihat Shareen dengan atribut baru yang jauh dari istighfar. Nyaris saja mulutnya memuja dengan kalimat 'Masya Allah'.

Sampai tiga kali memastikan, ia sangat yakin wanita dengan jilbab berwarna biru muda tadi memang benar, Shareen Nafisha. Wanita yang ia kagumi sejak lama, wanita yang ia hapal duduk di kursi bagian mana, nyaris tidak pernah berpindah. Kalau begini, rasanya ia ingin tampil. Menunjukkan diri, mengungkap keseriusan. Bahwa rasa yang ia punya hanya patut diapresiasi dengan pernikahan. Ia tidak mungkin menawari Shareen keharaman. Karena ia ingin mengawali cinta suci mereka dengan lebel yang resmi, yang bersertifikat halal.

Namun, keinginannya lagi-lagi digagalkan oleh seorang laki-laki. Saingan yang lebih dulu merebut hati Shareen. Ya, Ghazy terlihat berlari mengejar Shareen. Ia perlu memverifikasi, apakah kekasihnya resmi mengenakan jilbab? Sejak ia datang, hampir seluruh kampus menggosipkan Shareen. Ceritanya sedang hits di lingkungan kampus. Sampai-sampai, Ghazy perlu mengkonfirmasi agar tidak salah mendengar seletingan.

"Shareen!" Mendengar teriakan Ghazy, Shareen mempercepat ayunan. Serius, tekadnya sudah bulat untuk menghindari Ghazy. Sengaja membuat jeda untuk memberi pelajaran pada hatinya, mempersiapakan kematangan untuk--berpisah.

"Tunggu! Shareen!" Secepat-cepatnya Shareen berjalan, langkahnya tidak mungkin menyaingi Ghazy yang bertubuh tinggi. Ditariknya tangan Shareen. Terpaksa, Shareen harus beradu pandangan. Jujur, menatap mata Ghazy bisa saja meruntuhkan keyakinan Shareen.

Ditelitinya penampilan Shareen dengan sangat saksama, dari atas kepala hingga ujung kaki, bolak-balik sampai tiga kali. Tahu, apa reaksi Ghazy? Dia, tertawa. Bukan, lebih tepatnya terbahak-bahak hingga matanya berairan. Shareen yang merasa diperolok justru terlihat tegar, tidak sama sekali tersinggung, malahan dia menyenyumi Ghazy, melempar iba pada laki-laki yang sangat minim tentang ilmu dalam islam.

"Sayang, kamu nggak mabuk kan?" Shareen masih tersenyum. Melipat tangannya di depan dada, menonton Ghazy yang masih menghambur tawa. Ia biarkan Ghazy menunggu puas.

"Mungkin kamu yang mabuk. Bukan, kamu bukan kayak orang mabuk. Tapi lebih mirip orang yang hilang kewarasan!"

"Hilang kewarasan? Kamu nggak salah ngomong. Coba liat penampilan kamu hari ini, mirip ibu-ibu pengajian, kemodisan kamu pudar, aura cantik kamu bahkan nggak ada sisanya. Kamu kayak orang asing, bukan Shareen yang aku kenal." Kalimat Ghazy cukup menjadi tambahan amunisi untuk langkah berikutnya. Sekarang, Shareen masih harus bersabar sampai kematangan siap menjemput.

"Kalau begitu, selamat berkenalan dengan Shareen yang baru," ujarnya begitu tegas.

Ghazy melempar senyum terkecutnya. "Aku nggak suka kamu pakai jilbab. Jadi...." Ghazy memegang pundak Shareen. "Tolong lepas jilbab ini!" Ditepis Shareen tangan Ghazy yang memelintir khimarnya.

"Nggak akan! Aku nggak mau lepas jilbab ini. Sudah aku bilang, sekarang aku adalah Shareen yang baru. Terima atau nggak, aku akan tetap begini." Wajah Ghazy dihiasi murka, kalau bukan tempat umum, ia pasti sudah membentak Shareen. Atau sadisnya lagi menarik khimar Shareen secara paksa.

***

Menemui air mata Shareen di pipi, Mahda bertanya. Terlebih mata Mahda memindai khimar yang Shareen kenakan, ia tersenyum. "Kamu kenapa Ren?" Yang ditanyai mendongak.

Shareen (Open PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang