Kronologi Cerita Mahda

9.3K 1.4K 34
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Rintik hujan sebenarnya sempat menghalangi Mahda untuk keluar rumah. Tetapi si kecil Fara terus merengek akibat demam. Terpaksa, Mahda nekat keluar rumah dan menitipkan Fara ke tetangga sementara waktu. Suaminya belum pulang, parahnya tidak ada kendaraan yang bisa Mahda gunakan pada saat itu. Tetangganya pun ibu rumah tangga yang sama-sama ditinggal suami bekerja.

Mengembangkan payung, Mahda siap menerjang hujan. Percikan air yang mulai menderas pelan-pelan menghantam ujung gamis Mahda, pasalnya payung kecil Mahda tak sanggup menghindar. Sampai di apotik Mahda membeli obat penurun panas lalu segera pulang setelah semuanya lengkap ia beli. Di tengah jalan, Mahda merasa ada yang ganjil dengan pria yang berjalan di belakang. Sudah nyaris dua belokan, laki-laki itu masih mengikuti Mahda. Awalnya ia pikir mungkin mereka satu arah. Ia tidak mau suudzon apalagi menuduh orang sebagai penjahat.

Nyatanya asumsi Mahda mulai patah saat laki-laki itu menambah laju ayunan langkah berusaha menyaingi Mahda. Merasa ada yang kurang beres, Mahda juga mempercepat langkahnya agar lekas sampai rumah. Tetapi sayang, sebelum Mahda berhasil lolos dari kejaran, sebuah benda menusuk belakang pinggangnya. Kejadian yang begitu cepat, bagaimana rupa pelaku yang sudah tega menikamnya pun Mahda tidak sempat melihat.

Tetapi menurut keterangan polisi semalam, pelaku sudah berhasil dibekukan. Seorang bapak-bapak berusia di atas empat puluh tahun. Entah motif apa yang membuatnya menyerang Mahda, yang jelas uang Mahda di dalam dompet malam itu raib tak bersisa. Mungkin, ini baru hipotesa sementara, kalau laki-laki itu adalah copet yang punya kesempatan saat jalanan sedang sepi. Kebetulan nasib Mahda kurang baik malam itu.

"Abang, buruan!" Shareen membesarkan suara ketika dilihatnya Syahka terlalu lambat bergerak.

"Iya, sabar. Nggak boleh bentak-bentak Abang." Bukannya unjuk rasa, Shareen menyengir. Ia hanya terlalu khawatir dengan Mahda.

Tiba di depan ruangan khusus luka tusuk dan kecelakaan, keduanya dicegat oleh salah seorang suster.

"Maaf, Mas, Mbak. Sekarang belum waktunya besuk. Jam besuknya di mulai dari jam 5 sore sampai jam 9 malam." Shareen membuang napas pelan. Sabar.

"Oh ... Iya, Sus. Makasih informasinya."

Ya Allah, andai saja Shareen punya pintu doraemon yang bisa langsung menembus ruangan Mahda, pasti sudah ia lakukan.

"Jangan cemberut. Jam lima tersisa satu setengah jam lagi kok. Mending kita salat ashar dulu." Meski bibir Shareen tergigit resah, kepalanya masih sanggup mengangguk.

Benar, sebaik-baiknya waktu, adalah yang digunakan untuk akhirat. Terkadang banyak orang kebingungan menghabiskan waktunya saat menunggu. Apalagi yang pikirannya masih keduniawian. Jangankan menyentuh sajadah, adzan di masjid pun diabaikan. Masih mending hanya datang terlambat, daripada tidak sama sekali. Dan dulu, Shareen ingat, bukan ini yang ia lakukan. Bersama Ghazy, ia penuhi semua waktunya dengan kegiatan unfaedah. Salat jarang, puasa bolong, maksiat terus berjalan. Astaghfirullah. Setiap putaran masa lalu melambai-lambai diingatan, Shareen rasanya ingin salat taubat lagi dan lagi.

***

Dua menit Shareen menimang wajah Mahda. Tidak ada pelukan atau sapaan. Keduanya saling menatap dalam sendu. Barulah lima menit menyadari keterdiaman, Shareen meraih tubuh Mahda yang masih terbaring untuk dipeluk. Syukurlah, Mahda tidak kenapa-kenapa. Operasi semalam berjalan dengan lancar.

"Jangan nangis, Ren. Aku nggak papa." Penghiburan yang gagal. Gerimis mata Shareen semakin menderas. Tidak peduli sekarang Mahda selamat, yang jelas semalam nyawanya nyaris saja terancam.

Masih sesenggukan, Shareen melepas pelukan. "Ingat ya, Da. Kita sahabat rasa saudara. Jangan bilang nggak papa. Kalau kamu baik-baik aja ngapain sekarang di rumah sakit." Syahka dan Sakha yang namanya sudah mirip anak kembar saling melirik. Mereka heran kenapa hidup perempuan terlalu drama. Kalau mereka menangisi sesuatu hanya dengan setetes air mata. Berbeda dengan kaum hawa yang bisa sampai berjam-jam.

Pasti ada yang mengganjal di benak kenapa Syahka tahu Mahda masuk rumah sakit. Kebetulan suami Mahda adalah sahabat baik Syahka sejak masa putih abu-abu. Sampai sekarang mereka masih akrab. Keduanya rutin ke kajian, main futsal, juga sering nongkrong jika ada waktu luang seperti ngopi-ngopi.

"Pokoknya." Shareen sambil menyapu air mata. "Dia harus dipenjara, Da. Hukum berlaku. Apalagi dia coba nyakitin kamu." Kali ini senyum Mahda bersinyal ganjil. Tiba-tiba ia menggeleng pelan.

"Kenapa, Da? Oke, aku hijrah. Tapi untuk orang yang nyakitin kamu pengecualian."

Dirabanya tangan Shareen. "Dendam itu nggak baik. Apapun tujuannya, kita harus ikhlasin, kalau ini terjadi atas kehendak Allah. Mungkin, Allah mau ngingatkan aku untuk lebih hati-hati lagi. Ambil hikmahnya aja ya." Dinyanyikan kalimat selembut mungkin pun Shareen masih kurang setuju dengan prinsip Mahda.

"Tapi, Da. Orang seperti dia harus dikasih efek jera. Dia terbukti bersalah hukum di Indonesia bisa diberlakukan. Jangan kita sangkut pautkan sama urusan agama dulu, Da. Kalau dia keluar terus celakain orang lagi, gimana?" Sebenarnya ini hanya bentuk keresahan hati Shareen.

"Berarti, kamu harus belajar lagi ilmu memaafkan. Soal efek jera, kita punya Allah, hakim yang paling adil di hidup ini. Jadi, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan Ren. Setiap langkah kita selalu ada Allah yang melindungi, percaya ya." Shareen menyadar di kursi, coba memasukan prinsip Mahda ke dalam pikiran. Barang kali ia bisa sependapat.

"Abang setuju sama Mahda," Syahka menimpali. "Dendam itu hanya bikin kamu punya penyakit hati." Mahda dukung ucapan Syahka lewat anggukan.

"Tapi Abang nggak dendam sama Bapak kan waktu dilarang pacaran sama kak Bella?"

"Nggak sama sekali. Karena Bapak benar, pacaran memang dilarang."

"Kalau, kak Bella ternyata jodoh kakak gimana?" Sakha dan Mahda mengulum senyum. Syahka mulai menyisir rambut dengan tangannya, digoda Shareen ia berpikir keras.

"Ini kenapa jadi ke Abang ya?"

Shareen cekikikan. "Siapa suruh Abang nyambung tadi."

"Oh, jadi nggak boleh. Oke abang keluar aja."

"Gitu aja Abang ngambek. Gimana mau dapat jodoh." Suara membeo Shareen tidak digubris Syahka, ia tetap keluar dari sana sekadar mengusir Bella dari ingatan.

***

"Dennis?" Entah ini kebetulan atau bukan, tiba-tiba Shareen menemukan Dennis berdiri di depan ruang inap Mahda.

"Maaf. Aku nggak bermaksud ngikuti kamu." Shareen menunduk. Takut, matanya kembali berzina dengan Dennis.

"Kenapa kamu ngikutin aku, Nis? Kamu tahu kan kita bukan mahram."

Sambil mengantongi tangannya di saku celana, Dennis mengangguk. Ia paham, sangat paham dia dan Shareen bukan mahram. Tetapi rasa yang mengganjal dalam hatinya terus menuntun arah pada Shareen.

"Maaf." Ada jeda yang terhalang. Dennis kesulitan mengungkap. "Mungkin bukan sekarang waktunya."

"Maksudnya?"

"Nggak papa. Salam buat teman kamu. Semoga cepat sembuh."

"Iya. Makasih Nis."

Shareen rasa definisi Dennis mengikutinya bukan soal urusan masa lalu. Dari konfirmasi gerak tubuhnya ada isyarat bahasa lain. Ada sesuatu yang ingin Dennis sampaikan, tetapi lidahnya seolah terganjal. Pasti bukan kebetulan Dennis berada di sini dengan alibi mengikuti. Siapa Shareen untuknya yang harus diawasi. Ada yang tidak beres.

Shareen (Open PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang