Publikasi itu Wajib

89 13 4
                                    

Secangkir susu dan sepiring biskuit kunikmati minggu pagi itu. Tidak ada rutinitas kerja seperti biasa. Hanya aku, laptop, susu dan biskuit di atas meja makan. Mengawali keasyikan di atas laptop, kubuka laman Facebook. Sebuah tulisan kawan di komunitas menulis terasa menarik untuk kukutip. Bagus sekali petikan sindiran yang dia utarakan di wall miliknya

Ada potongan esai Budi Darma yang berhasil "menampar" wajahku malam ini. Tulisannya seperti ini:

"Saya mempunyai teman mengaku dirinya penulis, meskipun saya yakin dia bukan penulis. Dia mempunyai banyak tulisan. Naskah drama, naskah puisi, naskah cerpen, naskah novel. Dia memang hebat.

Tetapi, ternyata satu kali pun dia tidak pernah menerbitkan tulisannya. Setiap kali dia berusaha menerbitkannya, dia merasa ragu-ragu akan kebolehan tulisannya sendiri. Karena itulah dia menyibukkan dirinya dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia dapat mengubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalau perlu sampai puluhan kali. Akhirnya dia tidak pernah menyelesaikan apa-apa.

Nasib teman saya ini seburuk nasib Prufrock: selalu bernafsu untuk bertindak, akan tetapi selalu ragu-ragu apakah tindakannya akan benar. Akhirnya dia tidak bertindak apa-apa, kecuali sibuk tak berkesudahan, dengan tulisan-tulisannya sendiri."

*Solilokui, hal. 86. (Gramedia, 1983)
____________________________

"Jadilah penulis yang sungguh-sungguh, bukan yang sembunyi dalam kepura-puraan"

(Erpin Leader, Kepala Kampung Writing Revolution - Komunitas Penulis Online) 

Terlalu banyak pertimbangan yang kita buat ketika memutuskan untuk  mempublikasikan naskah yang telah ditulis. Tanpa kita sadari pertimbangan-pertimbangan yang kita buat untuk menilai hasil karya tulis kita tersebut kebanyakan bernada negatif dibandingkan positif.  Sehingga wajar apabila keberanian untuk mempublikasikan karya kita sendiri tidak pernah lahir. 

Rasa tidak percaya diri dan ketakutan akan kritik dan cemoohan dari pembaca  sering menjadi penyebab gagalnya karya tulis kita terpublikasi ke publik. Padahal untuk mempublikasikan karya tulis zaman sekarang tidak lagi sesulit tahun 1990-an ke bawah. Selain media cetak dan televisi, ada media internet yang menyajikan lahan publikasi yang begitu luas untuk karya-karya kita, tidak perlu melalui seleksi yang ketat dan antrian panjang, media internet hanya membutuhkan keberanian dari diri si penulis untuk menunjukkan hasil buah penanya.

Penulis juga membutuhkan keberanian dan lagi-lagi keyakinan, seperti apa yang saya tulis pada chapter motivasi sebelumnya (3 Mental Penting Sebagai Penulis!). Apa artinya pemikiran-pemikiran yang berhasil dituangkan di atas kertas atau di atas laptop kalau hanya berada di tumpukan file atau terkungkung dalam folder. Seseorang yang bisa disebut penulis adalah orang yang telah berani mempublikasikan karyanya. Karyanya tersebut lalu dibaca orang, diulas orang, dinilai orang, bahkan dicemooh orang. 

Kenapa harus takut ketika orang mencemooh apa yang kita buat? Menghina apa yang kita tulis? Dibalik cemoohan itu kita seharusnya berbesar hati, karena tanpa kita sadari pembaca yang tidak kita kenal itu mau dengan sukarela meluangkan waktunya membaca tulisan-tulisan kita. Dia tidak sekedar membaca, tetapi tanpa kita minta juga bersedia menelaah karya kita. 

Cemoohan dan kritikan tidak saja datang pada penulis-penulis pemula. Penulis besar dan ternama pun tidak lepas dari cemoohan dan kritikan pedas. Salah satu kejadian yang sempat menghebohkan pada Acara Penganugerahan Cerpen Terbaik Kompas 2010, Seno Gumira Ajidarma, yang cerpennya yang berjudul "Dodolitdodolitdodolibret" didaulat menjadi Cerpen Terbaik. Namun beberapa pengkritik sastra menganggap karya tersebut sangat mirip dengan cerpen Leo Tolstoy berjudul "Three Hermits". Pro dan kontra mengalir, Seno dianggap plagiat, beberapa yang berpikiran positif, menganggap tindakan Seno itu wajar, karena Three Hermits pun lahir dari sebuah kesimpulan hasil analisa cerita-cerita lisan yang mengalir dari mulut ke mulut.

Jadi, apa hubungannya dengan esai Budi Darma?

Menjadi penulis itu perlu menafikan segala kekuatiran. Tidak usah takut mempublikasikan. Tidak ada karya bagus yang lahir tanpa proses yang panjang. Keberanian untuk menunjukkan karya Anda pada publik hanyalah langkah awal. Kalau langkah awal saja tidak pernah dimulai, maka Anda tidak akan beranjak ke mana-mana.

Naskah tulisan itu seperti sajian makanan, soal penilaian rasa itu tidak mesti sama antara penikmat satu dengan yang lain. Semakin berani Anda mempublikasikan tulisan yang dibuat semakin Anda menjadi percaya diri sebagai penulis. Melalui blog gratisan, website komunitas, atau situs yang memberikan bayaran, atau media apapun yang memberikan ruang publikasi BERGABUNGLAH dan tunjukkan karya-karya Anda. Lahirkan tulisan-tulisan dengan usaha terbaik Anda. Percayalah, dari setiap tulisan yang terbit, karya Anda akan membawa takdirnya masing-masing. 

Siapa sangka Raditya Dika menjadi terkenal dengan Kambing Jantan-nya setelah dia menulis di blog. Apa jadinya apabila Raditya tidak punya keberanian untuk mengumbar tulisan-tulisan gokilnya tersebut di blog? Ya, tentu tidak akan ada buku Kambing Jantan atau filmnya diliris. Ingat, setiap tulisan membawa takdirnya sendiri. Jadi, lahirkanlah mereka dan publikasikan!

Berbagi Motivasi dalam MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang