"Aku tak mau berakhir semudah membalikkan telapak tangan
"
-Only Then-
Jarum jam terus berputar pada porosnya. Bergerak menepis sang waktu meski tetap di tempat yang sama. Yah, mungkin sama dengan keadaan gadis itu saat ini.
Suara televisi masih terdengar di ruang tengah, bersahut-sahutan tanpa ada yang menonton.
Devina masih bersembunyi di balik selimut tebalnya. Mungkin sudah tiga jam? Empat jam? Yang pasti ia meringkuk tak berkutik dari sepulang sekolah hingga sore hari dan jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul enam sore.
Pikirannya kacau, bergelut di dalam kepalanya. Memang matanya terpejam, kendati otaknya terus bekerja menganalisa reka adegan siang tadi.
Langit-langit putih itu menghujamnya, seperti mimpi buruk. Suara gramofon yang menggesek piringan hitam mengalunkan melodi sendu. Mengiringi tidur tak nyenyak sang putri tidur. Beradu dengan suara gemuruh guntur di luar sana, serta rintik hujan yang terdengar kian deras.
"Dev, wake up. Sudah mau malam." Suara wanita renta yang masih terdegar halus dari ambang pintu.
Devina tak tergubris. Ia masih terperangkap dalam mimpi buruknya.
"Kamu tidak mandi?"
Dan lagi-lagi Devina mengacuhkannya.
Wanita tua itu berjalan mendekat dengan langkah pelan, meski sedikit susah untuknya menopang tubuh rentanya.
Ia duduk di tepian ranjang, menarik sedikit selimut wol putih. Nampak wajah layu gadis remaja itu merasa terusik akan kedatangan Nyonya Olive.
"Wake up kitten. Nanti oma bilang ke mama kalau kamu tidak mau mandi." Ujarnya lembut.
"Shh... Grandma, aku masih mau tidur." Ucapnya merajuk.
"Oma mau masak ayam kesukaan kamu. Yakin ndak mau bangun?"
Devina sedikit tertarik. Dipandangnya jelas aura keibuan terpancar dari wajah penuh kerutan itu. Berbeda dengan sosok yang seharusnya ia panggil dengan sebutan 'ibu'.
Devina bangun dan menyandarkan kepalanya pada dashboard tempat tidurnya.
"Sure?"
Nyonya Olive mengangguk.
"Ok. Aku mandi dulu oma." Devina turun dari tempat tidurnya dengan malas. Gadis berambut cokelat itu berjalan gontai menuju kamar mandi dengan pakaian oversize kesukaannya.
Sementara senyuman kecil terlukis di bibir tipis Nyonya Olive. Yah, setidaknya ia bisa menikmati masa senjanya dengan sedikit bahagia.
-Only Then-
Devina belum juga turun. Sudah tiga puluh menit lamanya terhitung sejak sang nenek memanggilnya untuk makan malam bersama.
"Kaleena, panggil kakakmu. Suruh cepat. Nanti masakannya dingin." Ujarnya kepada seorang gadis lima belas tahun yang duduk di kursi makan dan sibuk dengan ponselnya.
"Oma saja. Aku lagi main game." Jawabnya acuh tak acuh.
"Tapi kan oma nyuruh kamu. Kamu ndak kasihan sama oma yang sudah tua ini harus naik turun tangga?"
Gadis bermanik mata kuning hazel itu mendesis. "Sssh! Iya sekarang." Lalu menuju lantai dua dengan langkah yang sangat 'terpaksa'. Menyusuri tiap-tiap anak tangga dengan langkah yang sengaja ia keraskan hingga timbul bunyi hentakan yang membuat sang nenek menghela napas dalam-dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Then
Short Story"Jika kita sama-sama telah menemukan cinta yang baru, maka setelahnya kita benar-benar usai." -Devina Tamara Pratiwi; Bali, 18 Mei 2018 "Kita dipisahkan untuk disatukan kembali, meski kita tahu bahwa kita akan terluka lagi." -Yogi Gangga Mahendra; B...