Kaki jenjangku melangkah, selangkah demi langkah. Akhir-akhir ini aku bersikap seperti meniru cara jalan seorang model yang penuh kepercayaan diri, sedikit menggelikan. Aku mengendikkan bahuku dan mengamit tali ranselku selagi terus melangkah, sampai suara seseorang yang sangat ku kenal, mengalun lembut, mengalunkan namaku. Ya, dia, Daffa yang ku dambakan. "Nanti sore jangan lupa buat latihan ya," ucap dia dan bodohnya aku malah memperhatikan gerak bibirnya, bibir yang terbentuk dengan sempurna.
"Ya, kak." Ya, aku hanya bisa mengatakan itu sembari menyembunyikan kegugupan yang rasanya mengesalkan. Kak Daffa tersenyum sekilas sebelum berlalu pergi, tentu meninggalkan aku yang terpaku dalam pesonanya. Tak ada cela dalam lelaki itu, sempurna. Aku tak mempedulikan tatapan teman-teman yang melihatku dengan penuh tanya, apalagi aku tak dapat menyembunyikan senyum bahagia ini.
Aku tak pandai dalam menari, apalagi tari modern. Tapi, demi Kak Daffa, aku melakukannya. Kata orang cinta itu bodoh, itu nyata karena aku saat ini sedang bersikap bodoh. Sayang aku tak dapat mengikuti ekstrakurikuler paskibra, tubuhku sangat payah dalam hal kedisiplinan.
*****
Aku melirik sekilas ke arah Bintang yang beranjak duduk di sebelahku. "Kamu udah makan? Ayo, istirahat bareng. Sekalian solat di masjid yang deket pertigaan," pinta Bintang dengan senyuman manisnya. Senyuman yang dulu mampu membuatku merasa bahwa Bintang pantas untuk kujadikan pendamping hidup, senyumnya melengkapi ketampanan wajahnya. Kisah kami begitu klise, sederhana. Bertemu di sebuah teater, berbincang sebentar dan berlanjut dengan bertukar nomor ponsel. Sebelum bertemu di teater, aku bahkan tak tau bahwa dia satu sekolah denganku, bahkan seangkatan. Satu yang kuingat, aku merasakan kenyamanan yang selalu ku dambakan, kami saling menyukai hal yang sama juga kami saling mengerti satu sama lain, tak ada paksaan di dalam hubungan ini. Ya, sebelum aku bertemu Kak Daffa dan jatuh cinta.
"Hari ini gak dulu ya, aku masih harus ngerjain tugas. Nanti aku solat pas jam istirahat ketiga aja," ucapku menolaknya. Bintang tersenyum dengan guratan kekecewaan, tapi dia tak bisa memaksaku dan berakhir pergi. Aku meringis, merasa bersalah karena membohonginya. Tujuan sebenarnya adalah aku hanya ingin menjadi makmum di mushola sekolah yang Kak Daffa imami, lalu makan siang di warung sebelah, tempat kak Daffa biasanya makan siang. Semuanya tentang Kak Daffa.
*****
Aku tak bisa menghentikan kebiasaan memalukan ini, mengamati Kak Daffa yang dengan luwesnya meliuk-liukan tubuh seirama lagu. Aku pernah membayangkan berdansa dengannya. Tangan hangat kak Daffa yang merengkuh pinggangku penuh posesif dan aku yang menyandarkan kepala di pundak kokohnya. "Gendhis kok ngelamun? Ayo, gerakannya masih banyak yang belum kamu hafal." Aku menoleh kaget dan tersenyum menunjukkan rasa bersalahku. Aku bisa melihat Kak Daffa yang tersenyum geli melihatku. Ah.. senyum itu.. Tuhan, tolong jangan buat aku menariknya pergi dan menjadikannya milikku.
*****
YOU ARE READING
TAK SAMPAI
ChickLitCerita klise tentang kisah cinta sederhana yang berakhir menyedihkan, tapi juga bahagia. Kalian bahagia dengan akhir cerita, its happy ending. Kalian sedih dengan akhir cerita, its sad ending (lol). Kalo aku sih sad ending. Cerita terdiri dari lima...