Mengawini Hujan

55 1 0
                                    

Mungkin Emak akan melemparku, memaki-maki, atau bahkan mencap aku sebagai orang gila. Aku ingin mengawini hujan, kataku. Punyak anak dan berkeluarga dengan dia, berselimut dingin dari tiap tetes yang dijatuhkan hujan. Dia cantik, tidak jauh beda dengan yang lain, lalu apa yang salah? Begitu saat mata-mata sinis dari kuda-kuda liar itu menanyakanku. Mereka menertawakanku, mencaci, atau bahkan melempar kata serapah dengan tuduhan aku yang sudah memperkosa hujan. Biar saja sekalipun gila, toh masih ada kata orang yang berarti identik bahwa aku adalah manusia, dari pada mereka sudah menjadi kuda-kuda liar yang meringkik tidak tahu arah. Untungnya ternyata Mak tidak marah. Dia menyuruh aku duduk dan menyuguhkan hidangan di atas meja. Sebuah nasi jagung dengan pepes ikan tongkol yang cukup membuat ngiler. Aku lahap memakannya, Mak ikutan makan sebelum akhirnya memintaku duduk di ruang tengah.
Beliau duduk di kursi goyang yang warnahnya sudah kusam, mengikuti warnah rambut Mak yang juga mulai memutih di makan usia.

"Makanannya enak, kau suka?"

"Tentu saja Mak, suka sekali. itukan memang kesukaanku, apalagi kalau Mak yang masak"

Kuacungkan jempol. Mak sepertinya benar-benar setuju aku mengawini hujan. Mak bahkan mendukung melalui isyarat sarapanku kali ini. Buktinya, gado-gado yang biasa hanya jadi sarapanku, kini sudah berganti nasi jagung dan pepes tongkol. Sedap, hidangan pas setelah tadi aku mengatakan tentang niatku melamar hujan.

"Kau tahu, Mak tak tak pernah menyangka dengan niatmu akan melamar, hujan"

"Oh ya, tentu saja, Mak. aku laki-laki baik bukan? Mak rupanya baru tahu," cicitku bangga. Ya, siapa lagi di dunia ini yang berani mau menikahi hujan kalau bukan aku? Si lelaki gila kata mereka, tapi nyatanya lebih berani dari pada kuda-kuda liar itu, yang maunya hanya merangkak dan meringkik setelah habis merenggut keperawanan hujan.

Aku sedikit membusungkan dada dengan senyum bangga. Setelah ini, apalagi yang akan Mak berikan? Apakah sebuah rumah untuk persiapan tempat tinggalku dan hujan? Atau sekedar menghadiahi baju layaknya Raja dan Ratu? Oh ayolah, jangan bikin penasaran dengan lama menjeda kata-kata, Mak.

"Kau tahu, hujan itu kotor!"

Oh ya? Itu benar. Banyak sampah-sampah tidak tahu untung yang sudah mencampuri kejernihannya. Aku tahu, tapi aku tetap suka hujan, ia juga pasti akan bersih jika sudah bersamaku.

"Tak ada yang mau sama dia, karena dia kotor"

Aku juga tahu,  tapi bukan karena hujan telah kotor, melainkan karena hati mereka penuh sampah yang sekedar di daur ulang sudah tidak bisa.

"Hidupnya hanya main air, berpakaian air tanpa benang sehelaipun"

"Itu nyata, tapi itulah hujan, pakaiannya memang air. dan bukankah itu yang membuat kita mengenalnya dengan sebutan hujan? aku tetap suka, dan bila Mak keberatan dengan pakaiannya, akan kuberi ia pakaian terbagus seperti kita."

Kali ini, aku tidak menyimpan jawabannya dalam hati dan mengusap lengan Mak, lembut. Sepertinya aku mencium ketidak sukaan dari ucapan Mak, dan itu harus kuwaspadai. Sudah tidak bisa di undur lagi keinginanku melamar hujan, aku ingin mengawininya saat ini juga.

"Hujan itu tidak pantas. Tidak waras, pelacur, juga jadi ejekan orang. Ini akan buruk jadi penilain semua orang"

Sorot mata Mak tajam, siap mengeluarkan pedang peperangannya untuk memutus tali keteguhanku. Aku tersenyum dan mengusap tangannya.

"Aku yang akan menikahi hujan, tak akan ada yang berani mengejeknya lagi."

Kueratkan pegangan mengisyaratkan keteguhan dan keyakinanku sama Mak. Bola mataku tak kala tajam, tapi bukan untuk membunuh seperti pedang milik Mak, tatapanku masih di bungkus hembusan angin kesejukan, tentu saja karena tercipta dari udara yang diberikan hujan, selalu sejuk dan ingin untuk melindungi.

"Aku akan mengawini hujan, Mak. kalau Mak sedang capek, istirahatlah, aku akan datang sendiri menjemputnya"

Aku sudah bangkit. Siap menjemput hujan sebagai pakaianku di kehidupan selanjutnya.

Hujan selalu datang, berlari di sekitaran rumah penduduk, menyusuri tiap jalan dengan pakainnya yaitu air. Sama seperti kata Mak. Tidak tahu hujan dapat dari mana, tapi tiap kali ada hujan maka di situ ada air. Ia kadang menggunakan kantong plastik untuk menampung air, menyiraminya sedikit demi sedikit pada tubuhnya seiring kakinya yang berjalan. Bila airnya habis, ia biasanya memilih danau dan sumur untuk mengisi air. Oh ya, biasanya ia juga kadang mengambilnya dari sumur di samping rumahku. Aku mengintip sebentar mencari hujan, barangkali ia ada di sumur.

Tak ada, kosong. Hanya sumur dan timbah di sampingnya. Aku memilih berbelok lagi, aku harus menemukan hujan, perkawinan kami harus cepat, aku sudah tidak sabar ingin mengawini hujan.

"Hahaha"

Suara itu disertai cipratan air mengenai mukaku. Hujan ternyata, tubuhnya seperti biasa hanya berpakaian air, tapi kali ini pakaiannya sedikit menipis karena air itu ia cipratkan padaku.

"Mandi, ayo mandi. Kau akan bersih, bersih sepertiku. lihat, lihat tak ada sesuatu yang menempel padaku"

Tawa hujan menghujamku dengan panah asmara. Cantik sekali hujan, gigi gingsulnya itu akan selalu terlihat bila ia tertawa, dan ia akan layaknya bidadari bila aku pakaikan baju bagus seindah putri raja. Aku sudah tidak sabar.

"Aku akan mandi, dan kelak akan mandi bersamamu. Boleh kau ikut aku, hujan? Aku akan mengajarkanmu bagaimana mandi bersama"

Aku hendak menarik lengan hujan yang basah, tentu saja karena pakainnya yang hanya terbuat dari air. Putih bersih yang menjadi ciri khas warna kulitnya terlihat makin menggodaku, tapi aku bukan kuda liar seperti mereka yang berhati sampah.
Aksi tarikanku tertahan sikapnya yang langsung mengibaskan lengan.

"Masuklah, aku bisa mengajarkanmu menjadi putri hujan yang sesungguhnya"

Kutunjuk rumahku yang berada tepat di belakang punggung, hujan melirikku sekilas sambil menggigit bibir, lantas masuk saja. Aku mengekor di belakangnya, sedikit memalingkan wajah saat tanpa sengaja melihat sekujur tubuhnya yang lagi-lagi asli hanya berpakaian air. Untung saja hujan mencipratkan air kesekujur tubuhnya lagi, sampai semua lekukannya samar-samar terlihat.

"Kau?"

Mak terbelalak dengan tubuh tiba-tiba bangkit. Ekor matanya bergantian memperhatikan kami, aku dan hujan.

"Restui kami Mak, hujan akan jadi hujan yang sesungguhnya, bukan perempuan gila yang selalu bermain dengan air, atau bukan sekedar simbol air yang selalu menjadi pakaiannya. ia akan sembuh dengan menjadi perempuan yang selalu membuat hatiku dingin dan sejuk"

Kucium kakinya yang memapah tubuh tegang Mak. Ini hanya permulaan, dia akan jadi hujan yang selalu menyirami kegersangan hati kita Mak, menjadi istri dan menantu yang sholeha.

Cinta di Kaki-kaki PalestinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang