Ceritaku Untuk Luka

49 0 0
                                    


Aku tertawa sembari mengibaskan tangan-tangan hati dari bagian terperih. Meminta engkau pergi jauh dari hati yang selama ini engkau tinggali. Sebentar lagi tanpa memintapun sebenarnya engkau pasti akan pergi. Aku hanya cukup menegaskan saja, bahwa setelah ini tidak akan ada Luka selainmu. Bibirku bahkan turut menarik ke samping bila membayangkan engkau sudah benar-benar pergi. Tentu saja seiring tubuhku yang ikutan menjauh, lalu mendekap perempuan paruh baya yang tak lain adalah Ibuku.

Jam dua belas nanti kau sudah harus otw ke bandara, Lis. Meski larut malam, tapi kita sudah harus sampai di sana. Cepat kemasi barang-barangmu dan kita pergi bersama.

Nama Lina tertera dari balik layar, setelah sebelumnya nada Assalamu'alaikum Beijing dari hp andorid itu aku clik, mengalihkan perhatianku sekilas darimu. Kau sempat berpaling membuang muka, mungkin karena selama ini aku tidak pernah mengabaikanmu. Aku bahkan selalu memandikanmu dengan air mata keperihanku, menyelimutimu dengan jejak-jejak sendu yang memelukmu setiap saat. Oh baiklah, mungkin juga karena ini adalah hari terakhirmu bermukim di relung hatiku. Kuberikan kau kebebasan, kau bahkan bisa memilih meraba hatiku dengan kesunyian lagi, mencekalnya erat dengan tangan-tangan rindu sepuas yang kau mau, atau sebaris luapan rasa yang sekalipun menyesakkan rongga dada tapi akan tetap aku biarkan.

"Sudah tak ada lagi seperti itu. Kau akan bertemu dengannya. Kau sudah punyak penghuni lain di istana hatimu. Pergilah, aku tak peduli meski sudah pasti merindukanmu"

Kau rupanya sudah benar-benar pergi setelahnya, Luka. Dan aku sendiripun tak peduli. Membiarkan tarikan senyum itu makin lebar, lalu melirik jam dan bergegas membawa barang-barangku untuk ikut serta. Hari ini kita sudah resmi berpisah bukan? Dan buatku sekarang kau adalah orang lain. Aku tak mau mengenalmu lagi, juga aku tak mau sekadar apapun ingat tentangmu!
Kau memang pemukim yang baik di hatiku, tapi karenamu tubuhku mengurus, mataku mencekung, dan kau tahu bagian yang paling tidak aku suka? Karenamu wanita yang sekian lama ingin aku dekap itu pasti kecewa bila melihat perubahanku.

Bandara ternyata memang benar masih sepih, jarum di balik jam tanganku memang masih menunjukkan angka sebelas, dan masih ada waktu sekitar satu jam lagi seperti kata Lina agar aku sampai lebih dulu. Mau sampai dua pagipun sebenarnya tak apa, Jam terbang di balik keterangan tiketku juga sudah memperjelas aku dan Lina. Tapi kami ingin sampai lebih dulu, dan itu cukup menjadi alasan di mana bahkan semalaman kami tak tidur sedetikpun.

"Rindu sudah cukup tidur pada bagian hati kita, Lis. Karenanya kita sudah tak perlu tidur lagikan?"
Lina mala seolah bersyair, tapi aku cukup mengiyakan karena memang kenyatannya. Kau tau jugakan, Luka? Dia adalah Lina sahabatku yang ikut merantau bersama, saudaramu bahkan kudengar pernah tinggal di hati Lina. Karenanya kau pasti tahu itu.

"Wah kita akan pulang .... "

Lina menggamit lenganku sambil tertawa mengucapkannya. Gigi putihnya sampai terlihat. Itu adalah tawanya yang sama, di mana semasa kecil dan kami sedang tinggal di desa, bersama keluarga dengan segala kesederhanaannya. Tawa itu rupanya sudah kembali lagi, renyah dan cukup menyenangkan. Aku sendiri hanya tersenyum. Bagiku senyum dan tawa sudah hampir sama, karena perasaan yang sudah berpisah denganmu adalah salah satu alasannya.

"Kau sudah belikan kaus untuk adik-adikmu kan?"

"Sudah, Lin," jawabku

"Ini benar-benar seperti mimpi. Aku sudah tak sabar, Lis. Jadi maaf aku memintamu lebih awal ke bandara"

"Its okay, Lin. Aku justru senang. Aku juga sudah tak sabar"

"Hooh bicaramu benar-benar seperti orang kota. Jangan pakai itu nanti di desa kita ya"

"Eh, ia Lin gue lupa"

"Jangan pakek gue, tapi aku"

"Oh ia, aku"

Cinta di Kaki-kaki PalestinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang