Lapis 3 (Bag. I)

22.2K 1.5K 16
                                    

Biasanya, Damien hanya butuh lima langkah dan dua tarikan napas untuk kembali memasang topeng tenang di wajahnya. Namun kini, setelah belasan langkah dari lift hingga ruangannya, rahangnya masih juga tegang. Sapaan para pegawainya di sepanjang koridor juga tak ia acuhkan. Dan dia yakin Nana, sekretarisnya, terkinjat ketika Damien membanting pintu.

Berusaha mengendalikan diri, Damien menarik napas beberapa kali sampai simpul di tengkuknya--yang selalu terasa tiap kali marah--terurai. Marah? Pemilik rambut kecokelatan itu mempertanyakan dirinya sendiri. Dia sudah tahu bahwa Eleanor bukan perawan lugu, karena Damien sendirilah yang mengambil....

Lelaki itu menggelengkan kepala, menekan ingatan kabur sebelum semakin jelas.

Jika sudah tahu sejak lama, mengapa baru kini dia kehilangan ketenangannya? Bayangan kulit langsat yang nyaris transparan dan menampakkan pembuluh darah di bawahnya muncul tanpa bisa dicegah di otak Damien. Lengkap dengan bekas kemerahan dan liontin berbentuk 'V' di atasnya. Liontin itulah penyebab kegusarannya.

Dari beberapa pria yang pernah berhubungan selama ini, tak sekali pun Eleanor menunjukkan tanda bahwa dia berhasil dimiliki. Namun kini? Inisial lelaki Jerman itu tergantung di leher.

"Saya tak perlu melaporkan apa yang saya lakukan di luar jam kerja kepada Anda." Suara lembut tapi tetap membawa intonasi keras kepala terngiang di telinga Damien.

Setelah melepaskan helaan panjang terakhir, lelaki tiga puluh dua tahun itu menjauh dari pintu. Namun, belum sampai di meja kerja, pintu kembali terbuka, disusul oleh sosok Nana yang masih terlihat cemas.

"Ada apa?" tanya Damien dengan tenang. Pundak Nana langsung turun, lega.

"CEO dari Puspita ingin membicarakan tentang perubahan kontrak. Saya lihat jadwal Bapak selama tiga hari ke depan, ada beberapa spot yang kosong. Bapak ingin meeting kapan?" Tangan kiri Nana berisi komputer tablet, sementara tangan kanannya memegang stylus, siap mencatat.

Damien berpikir sejenak, menimbang kemampuan orang-orang yang bertanggung jawab dengan kontrak Puspita. "Hari ini setelah makan siang. Kabari account executive yang bertanggung jawab untuk Puspita. Aku ingin melihat konsep campaign yang baru jam sebelas nanti." Damien duduk di kursi kebesarannya. Dia tahu anak buahnya bisa menyelesaikannya tepat waktu. Namun, dia juga yakin, arahannya kepada Nana akan menimbulkan sedikit keributan di sisi lain kantor.

Namun, pekerjaan adalah pekerjaan. Meski terkadang bisa digunakan untuk sarana balas dendam. Paling tidak, bukan hanya Damien yang akan tegang seluruh syarafnya pagi ini.

***

"Seriously?" Jari-jari Eleanor memijat kulit kepala, tak terlalu peduli dengan tatanan rambut yang akan rusak jika dia tak segera menghentikan gerakannya. Dalam kepala wanita itu sedang merencanakan jadwal kunjungan ke spa. Hal ini karena arahan Damien yang disampaikan melalui Nana, semua oksitosin, hormon bahagia yang dia peroleh dari orgasmenya tadi malam hingga pagi hari, lenyap tak berbekas.

Risa, asisten Ela, berdiri di depannya dengan senyum kecut. "Saya sudah coba hubungi ponsel Mbak Ela kemarin sore, waktu Nana bilang Marketing Puspita mau bertemu, tapi...."

Tangan Senior Account Executive itu terangkat, menghentikan kalimat Risa sebelum rasa bersalah gadis itu semakin menjadi. "Bukan salahmu aku mematikan ponsel. Sekarang panggil Aga! Kita bahas konsep campaign yang baru sesuai arahan Damien."

Tak sampai tiga menit, Risa kembali ke ruangan Ela diikuti oleh Aga, lelaki dua puluh lima tahun yang menjabat sebagai Junior Account Executive yang berada di bawah bimbingan Ela. Aga dan Risa semalam menggantikan posisi Ela untuk mengikuti rapat dadakan dengan pihak Puspita, klien penting yang Damien bahas ketikda mereka di lift tadi.

Biasanya Lit Advertising tak mudah mengubah konsep yang telah disetujui dalam kontrak, apalagi melalui permintaan mendadak semacam ini. Namun, menurut penyampaian dari Aga, pihak Puspita baru saja mengalami pergantian CEO. CEO yang baru memiliki visi yang berbeda dengan pendahulunya, dan ingin segera memperbarui image perusahaan. Mereka juga tak segan meningkatkan nilai campaign hingga dua kali lipat. Sebuah tindakan rasional bahwa Damien menerimanya.

Di Lit Advertising, orang yang bekerja keras akan mendapat imbalan yang sepadan. Ela tahu, jika perbaruan kontrak dengan Puspita berhasil, dia juga akan menikmati hasilnya. But, no pain no gain. Sehingga sekarang Ela akan menikmati perihnya sebuah usaha sambil membayangkan mencekik leher Damien yang tak melobi pihak Puspita untuk memberi mereka tenggat yang lebih masuk akal.

Into You #CEOprojectTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang