Mata Lain

133 3 2
                                    

Suara petir itu menggelegar dimalam yang sangat gelap, sepi dan dingin. Suaranya seolah membekukan dan kilatan cahayanya mematahkan keberanian manusia untuk bergerak bebas. Malam itu aku duduk sendiri diruang keluarga, menatap kosong halaman rumahku melalui jendela yang tak pernah kupasang tirai. Kulihat kilatan-kilatan itu dengan jelas, setiap kilatan seperti siang hari yang begitu terang. Malam itu yang aku lakukan hanya duduk dan menatap halaman, sesekali menatap dan berpikir caraku merawat pohon bonsai beringin di depanku.
Letaknya tidak jauh dari teras rumah, papahku sengaja menanamnya disana dan pohon tersebut letaknya sejajar dengan tempat aku duduk. Setiap sebulan sekali papa selalu merapikan dahan dan daun mudanya jika beliau tidak sedang banyak pekerjaan. Pohon beringin itu berdaun lebat, akar-akar gantungnya menjuntai cukup panjang karena tingginya pun baru sekitar dua meter. Tak sedikit dahan rantingnya pun menyentuh langit-langit atap rumahku. Saat matahari terbit cukup tinggi pohon beringin tersebut memberikan keteduhan, sinar matahari tak lagi menyilaukan kami jika sedang duduk disana.

Hujan telah mengguyur kotaku selama dua jam, selama itu pula aku melamun sesuatu yang tidak pasti. Posisiku sangat nyaman saat itu, duduk di sofa yang empuk yang tidak jauh dari 2 pintu untuk kedapur ataupun masuk ke ruang tv dan kamar. Duduk disofa dan menanti kepulangan papa dan mama adalah kebiasaan yang sering aku lakukan setiap malam. jika sudah bosan biasnya aku memilih tidur.

Tak ada ponsel disekitarku saat itu aku sengaja mematikannya dan ku letakkan di kamar. Aku takut mengoprasikan ponselku ketika hujan lebat seperti itu, takut-takut nantinya tersambar petir seperti yang pernah orang lain alami.

Suara gemuruh dan menggelegar itu masih saja mengisi kesepian dan ketakutanku. Aku takut tiba-tiba listrik padam dan aku harus susah payah mencari senter ataupun lilin. Tidak, aku tidak pernah ingin itu terjadi disaat aku dirumah sendirian.

Aku memfokuskan pikiranku, aku tidak boleh lengah dan melamun hal-hal lain lagi. Aku mencoba untuk terus konsentrasi, meskipun tidak ada yang aku pikirkan. Beberapa menit aku bisa fokuskan diriku, namun saat aku tengah menatap lagi pohon beringin itu, aku melihat seseuatu disebelah kiriku. Sesuatu atau lebih tepatnya seperti sosok, berdiri disana, tepat didepan pintu dapur yang kututup.

Astaga, apa itu?

Aku tidak mengalihkan pandanganku sama sekali, aku masih menatap pohon beringin itu! Tapi apa yang terjadi? Aku bisa melihatnya disana. Seperti...memiliki banyak mata. Cukup lama dia disana, akupun cukup lama mematung membiarkan semuanya. Sampai ku beranikan diri untuk melirik tapi yang terjadi..

"Astagfirullah.."

Dia hampir menabrakkan dirinya padaku sebelum aku benar-benar melihatnya. Aku benar-benar kaget dan kebingungan kala itu. Sosok hitam seperti asap membentuk tubuh manusia itu benar-benar akan menghempaskan dirinya padaku tetapi menghilang begitu saja.

_______

Inilah kisah pertamaku melihat "mereka" saat aku duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, beberapa bulan setelah kepergian Almarhum Kakek.

Tetap temani aku, akan ada cerita yang mungkin bisa aku ceritakan dan kamu sukai.

Dua Purnama with Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang