BAGIAN 1

134K 3.7K 382
                                    

AKU terbangun ketika istriku sedang siap-siap pergi bekerja. Pukul 05.30 dan di luar masih gelap. Aku menguap dan duduk di pinggir ranjang sementara istriku tampak serius menggoreskan eyeliner untuk menyempurnakan riasannya.

"Hari ini aku ada meeting sama klien, dia minta ketemu pagi-pagi banget karena harus pergi ke Hong Kong," ujarnya.

Aku menggaruk kepalaku. Dia sudah mengatakan itu dua kali tadi malam. Pekerjaannya sebagai pengacara kadang tak mengenal waktu dan aku harus selalu berusaha memakluminya.

"Aku pergi ya, Mas." Fira menyampirkan tasnya di bahu, mendekap dokumen, dan mencium pipiku. Kubalas dengan malas.

Tak lama terdengar pintu gerbang dibuka dan suara mobil melaju yang semakin lama semakin menjauh hingga menghilang.

Aku kembali menguap. Masih ada satu jam setengah lagi untukku pergi ke kantor. Aku memutuskan untuk turun, menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri.

"Pagi, Pak." Adi, asisten rumahku menyapa. Ia baru saja dari depan, membukakan pintu gerbang untuk Fira.

Aku mengangguk malas.

"Bapak mau sarapan? Biar saya siapkan, Pak." tawar Adi. Selama ini memang Adi yang selalu menyiapkan sarapan untukku setelah Bi Anih tak lagi bekerja. Sudah hampir tiga bulan, penjaga rumahku itulah yang membuatkan nasi goreng atau roti bakar untukku. Kuakui masakannya enak, bahkan aku lebih menyukai masakannya daripada masakan Bi Anih dulu. Jangan tanya Fira bisa memasak atau tidak.

"Boleh, Di." Aku duduk di meja makan. Adi menyiapkan segelas kopi untukku selagi menunggu masakannya.

Sepuluh menit, nasi goreng telur buatannya sudah terhidang di atas meja. Aromanya membuat perutku meraung-raung.

"Kopinya mau ditambah, Pak?" tanya Adi melihat cangkir kopiku tinggal setengah.

"Nggak usah, Di. Kamu duduk disini temani saya sarapan."

Adi terkejut. "Nggak, Pak. Saya nanti saja, masih ada yang harus dikerjakan."

"Duduk!" perintahku tegas. Aku tidak mau lagi mendengar penolakannya. Kuulurkan piring padanya. Adi tak punya pilihan lain. Ia duduk dan mengisi piringku dengan nasi goreng buatannya.

Kami makan dalam diam. Aku bersyukur masih ada Adi disini. Di rumah besar ini, aku akan merasa sangat kesepian andaikan pria berusia 25 tahun ini tak ada. Fira sangat jarang berada di rumah. Kami belum dikaruniai keturunan kendati usia pernikahan memasuki tahun kelima.

Adi mengunyah nasi gorengnya dengan khusyuk. Tanpa sadar aku memerhatikannya. Cara makannya lucu, dia terlihat imut. Belum lagi bibir merahnya yang mengilap karena nasi goreng yang tengah dikunyahnya. Dadaku tiba-tiba berdebar kencang.

"Pak, makannya sudah selesai? ... Pak?"

Aku terkesiap. Kaget. Ia memergokiku tengah menatapnya. Aku mengambil gelas kopiku dan minum dengan tergesa, entah kenapa aku begitu gugup hingga gelas yang kupegang tergelincir dan kopi di dalamnya tumpah membasahi bajuku.

Adi ikut panik, sigap mengambil tissue dan mengelap kaosku. "Bajunya basah, Pak. Bisa dibuka dulu biar saya keringkan."

Aku menurut. Kubuka bajuku kubiarkan ia mengelap bagian dadaku dengan perlahan. Saat itu aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang nikmat yang membuat napasku tertahan, terutama ketika ia mengelap bagian putingku. Lantas entah apa yang mendorongku. Aku nekat mengambil cangkir kopi dan kutuangkan dengan sengaja ke celana pendekku, tepat di bagian penisku.

Adi terkejut. Ia menatapku bertanya-tanya.

"Bersihin, Di." Aku membuka celana pendekku, mengeluarkan kontol yang sudah menegang. "Ayo, Di."

Adi tampak enggan namun tak membantah. Ia mengambil tissue dan mengelap penisku dengan hati-hati. Aku semakin bergairah, aku mengerang nikmat.

"Di... bersihin pake mulut, Di."

"Pak..."

"Ayo, Di."

Adi ragu-ragu, tapi dia melakukannya. Dia menjilat kontolku, lantas memasukkan batangnya ke dalam mulutnya. Tanpa diperintah ia menaikturunkan mulutnya. Membuatku berada di puncak kenikmatan.

"Ayo, Di... terus, Di." Adi semakin bersemangat. Ia memijat, menjilat, dan mendorong kontolku masuk ke dalam tenggorokannya hingga aku meledak, memuntahkan cairan spermaku di dalam mulutnya. Aku terengah. Lelah tapi nikmat.

"Di..." panggilku setelah kupakai kembali celanaku. Aku menggamit tangannya. "Makasih ya."

Adi mengangguk lalu pergi ke belakang menuju kamarnya tanpa berkata-kata.

Aku tersenyum. Baru kali ini aku merasakan hal yang tak bisa kurasakan dengan Fira. Aku merasa mendapat kenikmatan yang dahsyat yang tak pernah kurasakan selama ini. Aku bisa mendengar dadaku berdentum-dentum seolah tengah berpesta.

"Mas lagi apa?"

Aku terlonjak. Kulihat Fira berdiri di depanku. Menatapku.

*

Pelayanku, KekasihkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang