BAGIAN 4

96K 2.5K 106
                                    

Cerita sebelumnya: Adi mendapati Daniel terkapar di lantai kamarnya. Daniel terserang demam hebat, Adi merawat sebisanya. Malamnya demam Daniel semakin tinggi, Adi panik lantas mengambil keputusan untuk memeluk Daniel dengan bertelanjang untuk meredakan demamnya seperti yang dilakukan istrinya dulu. Daniel terbangun. Merasakan gairah yang membuncah. Daniel dan Adi bercinta di ranjang. Tapi pagi hari, ketika Daniel terbangun Adi meninggalkan sesuatu dan pergi dari rumahnya.

ADI meninggalkan sepucuk surat untukku yang isinya mengatakan bahwa mendadak ia harus pulang kampung dan tak tahu kapan akan kembali lagi. Adi juga minta maaf karena meninggalkanku dalam keadaan sakit.

Aku terduduk lemas di sofa. Apa mungkin penyebab kepergiannya karena percintaan kami semalam? Apa dia marah? Aku meraih ponselku dan mencoba meneleponnya. Tidak aktif!

Aku akhirnya pasrah. Jikalau dia marah aku terima. Aku hanya berharap semoga ia kembali secepatnya, rumah ini akan terasa amat sepi jika Adi tak ada.

Dua minggu berlalu, Adi belum juga kembali dan tak bisa dihubungi. Fira sudah pulang dan kini kami hanya berdua di rumah.

Mestinya aku senang karena istriku kini lebih banyak tinggal di rumah. Dulu aku memintanya untuk mengurangi kesibukannya agar kami bisa menjalankan rumah tangga seutuhnya. Tapi sekarang aku malah mengharapkan Fira lebih sibuk karena keberadaannya pun hanya membuat kepalaku pusing. Terutama kalau lagi masak, mencoba resep yang dilihatnya di instagram.

"Mas, cobain deh kurang garem nggak sih?" Fira menyendok kuah sop buntut di atas panci.

Dengan malas aku mendekatinya. Aku mengangguk. Jujur, rasanya...mengerikkan.

"Tapi menurutku udah enak sih, nggak perlu ditambahin apa-apa lagi." Dengan cueknya Fira mematikan kompor dan menuang sop buntut buatannya ke mangkok saji.

Aku melengos.

Dan masih banyak hal lain yang membuatku muak padanya.

Untuk urusan ranjangpun tak jauh beda. Aku merasa kehilangan selera bercinta dengannya. Berbagai alasan kuberikan agar kami tak saling bersentuhan. Aku malas, tak ada gairah.

Hari demi hari kulalui dengan berat hati. Aku merasa sudah benar-benar jenuh. Tak tahan menghadapi kemanjaan dan kecerewetan Fira yang semakin menjadi.

Untunglah satu hari bank tempatku bekerja menugaskanku pergi ke kantor unit yang berada di sebuah desa selama beberapa hari.

Aku tersenyum senang. Aku kenal betul desa ini. Desa tempat tinggal Adi.

Aku akan mencari Adi dan membawanya pulang bersamaku.

***

Kutuntaskan segala macam urusanku di kantor ini dengan cepat. Sisa satu hari lagi akan kugunakan untuk pergi mencari Adi. Aku mendapat alamat dari pamannya yang satu kantor denganku. Menggunakan mobil hitamku, aku berkeling mencari alamat yang dimaksud.

Cukup sulit menemukannya, tapi akhirnya aku tiba di tujuanku. Sebuah rumah mungil bercat gading yang tampak kusam. Aku mengetok pintu tiga kali lantas seorang perempuan paruh baya yang kemudian kukenal sebagai ibunya Adi muncul dari balik pintu. Aku memperkenalkan diri dan perempuan bernama Asih itu mempersilakanku masuk.

Asih mengatakan Adi tak ada di rumah mungkin pergi ke suatu tempat. Perempuan itu kemudian menceritakan apa yang dialami Adi beberapa minggu belakangan ini sambil bercucuran air mata.

Aku kini paham kenapa Adi mendadak pergi dari rumah dan tak ada kabar. Aku lantas pamit pada Bu Asih berniat mencari Adi.

Aku menemukannya tengah berada di pinggir sungai. Lelaki yang kurindukan itu tampak murung tak bersemangat.

"Di..." sapaku. Adi menoleh dan tampak terkejut. Aku tersenyum. "Pemandangan disini bagus ya? Pantas kamu tidak mau pulang." Candaku.

"M...maaf, Pak." Kulihat penyesalan sekaligus rasa berdosa di matanya mengingat kepergiannya yang mendadak tempo hari.

"Udahlah," aku menepuk bahunya. "Kamu tidak perlu merasa bersalah."

Adi terdiam.

"Aku sudah mendengar semuanya. Aku turut prihatin, Di."

Adi menunduk dalam. Bahunya berguncang dan perlahan terdengar suara isak.

"Saya tidak tahu kenapa jadi begini, Pak, padahal saya sangat mencintai istri dan anak saya."

Aku menepuk-nepuk bahu Adi. Tadi ibunya cerita bahwa istri Adi selingkuh dengan mantan pacarnya dan sekarang pergi entah kemana membawa anaknya.

Mendengar isak yang semakin menjadi, aku tak tega. Kurangkul bahunya dan kupeluk erat.

"Pak..." kurasakan kerapuhan dari tubuh priaku yang semakin kurus ini. Aku mendekapnya erat berharap dia tahu betapa aku menyayanginya.

Kurenggangkan pelukanku, kutatap kedua matanya yang sembab lantas kuhapus titik-titik air di pipinya dengan kedua ibu jariku. Melihatnya lemah seperti itu, aku merasa iba. Di pinggir sungai berair jernih, di alam terbuka yang indah, dan dipayungi hamparan langit biru cerah aku memagut bibirnya.

Aku menciumnya.

Adi terkejut kemudian berontak. Ia mendorong tubuhku.

"Apa-apaan ini, Pak?" bentaknya sambil bangkit berdiri.

"Di... aku... aku, maaf."

"Malu dilihat orang, Pak."

Adi menatapku penuh kebencian. Belum pernah kulihat ia semarah ini. Adi kemudian pergi, meninggalkanku dengan segungung perasaan berdosa padanya.

Aku mengutuk diriku sendiri. Membuatnya marah hanya akan membuat nihil usahaku membawanya pulang.

"Bagaimana bisa aku sebodoh itu?" Bentakku dalam hati. Aku menyesal.

Setelah berdiam cukup lama di pinggir sungai, aku memutuskan kembali. Aku berjalan lunglai menuju mobil yang kuparkir di lapang desa.

Berhari-hati aku berada di dalam kekalutan, kebingungan dan penyesalan kenapa aku harus melakukan hal itu.

Hingga di satu sore yang mendung, ketika kurasakan tubuhku sangat lelah, seseorang mengetuk pintu rumah.

Aku tersenyum.

Pria yang kusayangi ada di depanku.

"Adi..."

***BERSAMBUNG***

Pelayanku, KekasihkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang