"Sekarang kita sama–sama mengerti, Joana. Hal paling menyakitkan adalah menghapus film yang kita gandrungi dari ingatan kita sendiri, padahal itu adalah film yang paling sering kita putar, kita dengar, putar, dengar dan putar dan dengar." Kubisikkan ucapan itu pada Joana, diriku sendiri.
Dan aku tidak kaget, jika tahap selanjutnya adalah aku menemukan Joana menyembah bantal, karena hanya benda itu yang mendekap tangisnya tanpa perlu ditutupi. Dengan taat Joana menutup mata dan membakar–yang tak pernah mampu habis—segala-galanya mengenai lelaki itu. Joana berupaya memeluk hal lain detik ini, bukan kesepian atau kesedihan. Dia mau mencicipi yang lainnya, selain lelaki itu.
"Kamu harus tahu, bahwa terkadang sunyi adalah musik yang kamu perlu, Joana. Karena semua nada yang bersatu padu kadang malah menjadi sumbang, kemudian sahut-menyahut merantaimu hingga jemu, kamu jenuh. Sekarang kamu tak butuh lainnya, kamu sekadar perlu bermesraan dengan senyap. Berkelakar dengan masa lalu untuk menilai diri sendiri. Perbaiki saja diri sendiri." Lagi–lagi nasehat panjang kusampaikan pada Joana sayangku, gadis yang muncul dari cermin di hadapanku
Tapi Joana langsung menyalak seperti anjing tanpa sedikitpun memperhatikan omonganku, "Apa yang harus kuperbaiki demi lelaki yang tak pernah memberikan perhatiannya kepadaku? Haruskah aku mengharu biru di hadapannya??? tak mengertikah lelaki itu aku sudah kelabu sejak lama. Sejak lama. Lama sekali. Sekali yang paling sekali."
Kemudianaku dan Joana diam. Tak mau bertengkar lagi.
***
Satu hari di kota ini adalah barisan detik yang kulalui dengan kepercayaan bahwa pikiran adalah area bebas luka. Pikiran harus berada dalam kondisi waras, tidak sakit apalagi gila.
Walau aku selalu mengajak lelaki itu bertemu setiap malam di alam abstrak, memastikan dirinya menjadi pelengkap kehidupanku di sana, mencekokinya dengan segala situasi yang tak satu pun dari kami tahu apakah akan dilanjutkan esok malam atau tidak. Semua itu tak berarti aku menjadi gila lantaran tak bisa benar–benar menemuinya di kehidupan nyata. Lagi–lagi, ada satu bagian yang harus selalu kupelihara kejernihannya, pikiran. Maka dari itu aku tidak gila. Joana masih waras.
Seringkali aku menganalogikan diriku sebagai banyak hal. Mulai dari mawar, secarik kertas, hingga benda bertuliskan "pecah berarti membeli". Tapi itu memang pilihanku, menjadi abstrak, spontan, dan berubah-ubah. Sayangnya, lelaki itu tak menjangkau dimensiku, si Joana yang lalu mengategorikan dirinya kesepian.
"Atau, aku yang tak kesampaian menuju semestamu?" tanyaku pada lelaki itu.
"Mungkin kamu butuh pemeriksaan medis, siapa tahu otakmu sudah berubah wujud menjadi persegi sehingga muncullah kamu yang luar biasa kaku dan menganggap dirimu paling logis dan selalu bersikap praktis. Kemudian menamaiku si makhluk planet lain yang seakan kurang cocok untuk hidup berdampingan di planetmu." Joana menyalak pada lelaki yang sama.
Sejarah telah menjadi konsepku dan Joana tentang lelaki itu 2 bulan belakangan. Awalnya konsep itu memang begitu mengerikan, menggantung hati–hati dan takut diketahui walau oleh mata kami sendiri.
Lelaki itu bertransformasi menjadi dirinya dalam pemikiran yang lagi–lagi tak terjangkau oleh pemikiranku, si Joana ini. Pasti Ibnu Sina berbangga di alam baqa' sebab ada manusia secanggih lelaki itu yang mencintai ilmunya.
Dia berteori, dia mengalkulasi, dia dan biologi manusia, dia dan mimpi, dia dan nyanyian petang hari, dia dan ponsel pintar yang kerap jadi jam dinding atau sekadar pajangan, hingga dia tak menyisakan ruang bagi dia sendiri dan aku dan Joana.
"Lelaki itu membuat tempatku sesak, merasa terdesak akhirnya kuputuskan untuk melesak. Siapa orang yang tidak jadi gila? Aku kangen! tapi ketika seseorang yang paling aku rindukan ada di hadapanku tapi aku belum menemukan apa yang aku cari," suara siapa ini??? Milikku atau Joana? Yang pasti ini untuk lelaki yang sama.
"Mungkin kamu lupa, tapi kamu pasti tahu walau kamu belum mengerti; cinta bukanlah sebuah teori, tapi cinta adalah interaksi. Dan, mengalami!" kali ini ucapanku.
"Bagimu memang aku alien, tapi bagiku kamu manusia yang kurang manusia," kemudian Joana menambahkan.
Saat ini, terlanjur karatan bagiku dan Joana untuk kembali mencari figur baru untuk diajak bicara tentang hal futuristik. Rasanya membuang percuma 1.425 hari yang kami bertiga tabung begitu menyakitkan. Sampai–sampai kupikir entah aku atau Joana, tapi setauku ragaku sudah lupa bagaimana cara menghabiskan popcorn rasa asin sendirian.
Seharusnya hari–hari di minggu ini adalah hari ke 1.500 untuk tabungan itu, andai kita bertiga bersikap manis dan manut pada perbedaan. Sayangnya dan untungnya, aku dan Joana memilih memainkan sendiri peran kami dan menghapus lelaki itu dari skenario.
Aku kembali menjadi aku, siapa pun itu, apa aku atau Joana, aku tak tahu dan tak menjadi masalah bagiku. Aku hidup. Aku utuh. Itu cukup.
Terinspirasi dari Madre
KAMU SEDANG MEMBACA
Paragraf by Oktanika Nurjanah
Short StorySeringkali aku menganalogikan diriku sebagai banyak hal. Mulai dari mawar, secarik kertas, hingga benda bertuliskan "pecah berarti membeli". Tapi itu memang pilihanku, menjadi abstrak, spontan, dan berubah-ubah. Sayangnya, lelaki itu tak menjangkau...