Ini Indonesia, 24 jam dibagi sama untuk porsi siang dan malam. Ini bukan negeri antah berantah yang bersalju, yang begitu ambil pusing untuk membagi panjang waktu pada 4 musim yang berbeda. Bagiku... semua masih saja sama. Ya! Aku tidak mau terlalu rumit menjalani hidupku yang sudah cukup menyiapkan berbagai macam jebakan dan kejutan.
Malam ini adalah....
Satu : Bahagia.
"Kau lihat lampu sorot di sana?" tanyaku cukup bersemangat, sambil menunjuk dua cahaya panjang berputar–putar menyisir kegelapan langit yang miskin akan bintang.
Bukan sebuah kosa kata yang menjadi jawaban, hanya anggukan setelah beberapa derajat kamu memutar kepala ke sisi kiri.
"Ada acara apa?" aku antusias ingin tahu. Aku suka keramaian.
"Pasar malam. Atau... ya... semacamnya," jawabmu singkat.
Aku tak menyadari jemariku menarik lengan sweater hitammu, seperti halnya anak usia 5 tahun yang merengek minta boneka, "Aku suka bianglala."
Kamu lepaskan tautan telapakku di sikumu, dan tersenyum sekilas, "Sebentar, kuambil motorku."
Dalam waktu dua puluh lima menit, kamu sudah memarkirkan motor di parkiran pasar malam. Cukup membahagiakan, tapi aku cukup tahu diri untuk tidak berlarian kesana kemari dan membuatmu malu. Aku 20 tahun. Aku hanya menggoyang–goyangkan kembang gula warna putih yang kubeli dengan pecahan 5.000 rupiah.
Kemudian. Kita duduk berdua, menikmati malam yang porsinya sama setiap harinya.
Karena malam tak mau memanjang,akhirnya tiba saat kita beranjak. Semua yang ada di Indonesia kebanyakanmonoton, diulang berkali–kali hingga daya kejutnya sirna, seperti kamu... malamini menggenggam tangan kiriku lalu kau sembunyikan di saku sweater,begitu di sepanjang perjalananpulang.
***
Malam ini adalah....
Dua : Kesedihan.
Kita dalam posisi yang tidak aku sukai, sama sekali. Aku begitu tahu kau juga sama, iya kan? Kita terlibat dalam percakapan yang seharusnya kita hindari, apa pun alasannya.
"Jadi apa penjelasanmu?" tanyamu, sorot mata yang kukagumi itu lembut mengamati gerak putaran mataku.
"Aku gadis desa, Sayang, aku berpikir dengan pola pikir gadis desa lainnya, untuk melanjutkan hidupku dengan lelaki baik yang menghidupiku dan ada untukku. Aku bukan gadis metropolitan yang menginginkan kebahagiaan bersyarat, harus berkarir tinggi atau kehidupan gemerlap. Aku cukup berbahagia dengan apa yang sudah kumiliki. Aku berpikir sesederhana itu. Sesimple itu." Aku berusaha merangki kata yang tepat untuk menggambarkan kejujuran dari dalam diriku.
"Kau gadis baik," ucapmu sambil melingkarkan lengan di bahuku. "Kau pantas mendapat yang terbaik. Tapi kau tidak berusaha untuk itu."
"Apa maksudmu?" kuyakin mataku membulat.
"Lelaki itu, lelaki baik. Tapi tidak ba—"
"Apa yang kau bicarakan?" aku melibas ucapanmu sebelum kau menyelesaikannya.
"Baiklah, dia memang baik. Dia lelaki baik, sangat baik malah. Dia rajin kuliah, dia punya banyak aktifitas positif, dia menaati semua aturan..."
"Bukankah itu baik?"
"Oh... tentu. Aku juga mengakui dia lelaki baik."
"Lalu apa masalahnya?" aku meninggikan suaraku.
"Dia tidak baik kepadamu. Kalau dia baik kepadamu, dia tak akan membuatmu menunggu selama dua bulan hanya untuk bertemu satu malam. Kalau dia baik padamu, dia akan bertindak jika tahu kekasihnya ditikung orang. Kalau dia baik padamu, dia akan..." ucapanmu berhenti, menggantung.
Pandanganku kabur. Airmata sudah menggenang, menjadi selaput bening yang membatasi antara duniaku dan kenyataan, membatasi antara perasaan kacau yang coba kututupi dari sorot matanya yang menelanjangiku tanpa ampun, membatasi antara senyum yang kusungging setiap hari dengan airmata yang kusembunyikan dalam hati, membatasi antara kebahagiaan yang ditawarkan lelaki di hadapanku dengan kebahagiaan yang kuemis dari lelaki lain di belahan hatiku, membatasi antara manisnya dunia dengan pahit yang kubawa ke sana kemari. Aku belum mampu membuka hati walau aku telah lama membuka mata.
Pelukan itu meruntuhkanku, milikmu. Lalu ucapan itu berdengung berkali–kali, menambah deras sakit yang mendera sekujur jiwa. "Bagaimana rasanya? Perbaikilah hatimu. Kau tahu caranya..." ucapmu pelan.
Aku masih menggelengkan kepala. "Aku menyayanginya."
"Kau menyayangiku."
"Aku lebih menyayanginya. Aku selalu berusaha memarahinya, aku selalu berusaha mengacuhkannya seperti dia selalu mengacuhkanku, aku selalu berusaha memprotes situasi ini padanya. Tapi aku tidak pernah mampu, aku tidak pernah tega, aku selalu maklum pada semua sikapnya..."
"Kau hanya takut kau merusak satu malam yang kau tunggu selama dua bulan. Hanya itu."
Tubuhku menegang, hatiku membenarkan ucapanmu. Aku hanya tak ingin merusak satu malam yang disenggangkannya untukku setelah aku memintanya selama dua bulan.
Dan sekarang aku tahu bagaimana rasanya, saat kamu berbisik perlahan tepat di telingaku, "Jadi, aku belum mampu memenangkan hatimu?"
Aku tersenyum kaku, memelukmu yang hatinya kusayat setiap hari. Maaf....
Ruang kelas D. 01 makul TEFL, Senin26 Maret 2013
Kisah lanjutannya ada di buku "PARAGRAF" karya Oktanika Nurjanah yang sudah diterbitkan oleh Penerbit Harfeey. Silakan cek profil untuk order bukunya. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paragraf by Oktanika Nurjanah
Short StorySeringkali aku menganalogikan diriku sebagai banyak hal. Mulai dari mawar, secarik kertas, hingga benda bertuliskan "pecah berarti membeli". Tapi itu memang pilihanku, menjadi abstrak, spontan, dan berubah-ubah. Sayangnya, lelaki itu tak menjangkau...