Awal

31 6 0
                                    

Masa lalu adalah bagian yang sama pentingnya bagiku, terlebih dalam proses hijrahku. Genap usia 17 tahun, aku baru menangkap hidayah-Nya. Menata kembali islamku yang sempat hanya menjadi status belaka. Dulu, celana jeans masih sering kupakai saat hangout bersama teman-teman, juga ketika liburan bersama keluarga. Khimarku masih ala kadarnya, terawang, tipis, dan pendek, tak memenuhi kriteria jilbab syari yang diperintahkan Allah kepada para hawa. Semua baru kusadarai saat umurku menginjak 17 tahun, di mana masa-masa sulit harus kujalani setelahnya. Dijauhi teman, dicemooh, direndahkan, dan masih banyak lagi. Namun, janji Allah tak akan pernah ingkar, ada Aisha yang dengan erat menggenggam tanganku, mengulurkan tangannya ketika imanku mundur, mengusap pundakku ketika terpaan ujian terasa berat kupikul. Aisha, terima kasih teman, karenamu aku belajar banyak hal.

Sore pukul 14.55 kuayuhkan kakiku menyusuri trotoar. Dari Rumah Singgah Bina Tawa, aku pergi menuju terminal. Ibuku memintaku untuk pulang di hari Sabtu dan Minggu, kebetulan di kedua hari tersebut tak ada jadwal kuliah. Ah, tidak, hari Sabtu aku ada kelas, hanya 2 jam di pagi hari. Siang sampai sore jika malas pulang, waktuku kuhabiskan di Rumah Singgah. Menemani anak-anak belajar dan bermain, kadang juga kunjunganku sampai malam guna membantu Bu Nikmah menyiapkan makan malam.

Karena sudah memasuki waktu salat ashar, aku pun singgah ke sebuah masjid sebelum masuk terminal. Sepi, sepertinya hanya aku yang ada di komplek masjid tersebut. Kulepaskan kickers cokelat milikku, juga kaos kaki berwarna serupa. Tempat wudu berada di sebelah utara masjid, kuletakkan kickersku di sana. Lantas berjalan menuju depan masjid, menjalankan salat ashar.

Sekitar 20 menit aku salat dan hendak mengenakan kickersku, nyatanya apa yang ingin kupakai sudah tak ada di tempat. Ah, malang nian nasibku waktu itu. Baru kubeli 2 minggu yang lalu, dan hari ini hilang? ah, terlalu disayangkan. "Assalamualikum. Mbak...mbak kenapa?" kudongakkan kepalaku, mendapati seorang ikhwan sedang menatapku bingung. Bekas air mata di pipiku segera kusapu bersih.

"Waalaikumussalam. Ah, tak apa mas. Sepatu saya hilang sewaktu saya sedang salat."

Tak ingin berlarut dalam kesedihan, aku pun berniat pergi. Dengan kaos kaki warna ungu yang selalu menjadi cadangan, tersimpan dalam tas yang selalu kubawa-bawa.

"Jalanan masih panas, walaupun mbaknya pakai kaos kaki. Tetap saja masih panas. Silakan pakai sandal saya." Sebuah sandal jepit ia sodorkan. Tak terlalu bagus, tapi juga tak jelek-jelek juga. "Bagaimana dengan masnya?" tanyaku heran. Jelas saja heran. Dia hanya punya sepasang sandal jepit berwarna hijau tosca, bagaimana nanti ia akan pulang dari masjid ini?

"Saya mengendarai motor, jadi tak perlu khawatir. Pakai saja, rumah saya tak terlalu jauh dari sini."

Akhirnya, kubawa juga sandal milik masnya setelah mengucapkan terima kasih. Aku pun pulang tanpa harus malu ditatap dengan pandangan aneh karena hanya berkaos kaki saja.

Jazaakallahu, ucapku dalam hati terus berterima kasih.

Sesampainya di rumah, kudapati raut wajah lelah ibuku. Dengan telatennya beliau merawat tanaman-tanaman yang tumbuh subur di sepanjang pagar. Juga adikku, Farhan yang tengah memandikan sepedanya.

"Assalamualikum," kucium tangan ibuku yang tak pernah lelah menimangku dari kecil, merawat, dan mendidikku hingga aku dapat sukses menembus SNMPTN tahun lalu. Kudengar ibu dan adiku menjawab salam, dengan gembira adiku menyambutku. Meminta brownis langganannya. Aku pun tertawa, mengingat banyak kisah yang pernah kubagi dengannya sedari kecil. Sebelum ibu resign dari tempatnya kerja.

"Makan dulu, Na. Ibu sudah masak sayur kesukaanmu, ada bakwan jagung juga. Gih, beres-beres terus makan." Giring ibuku.

Sampai saat ini, aku tak habis fikir, mengapa orangtuaku menamaiku demikian? Banyak orang yang bingung akan memanggilku bagimana. Aneh.

Di rumah, ibu dan ayahku memanggilku Nana, sedangkan adik dan kakakku memanggilku Ona.

Ah, biarkanlah. Semoga aku tumbuh seperti yang orangtuaku harapkan ketika menamaiku demikian, Tectona Grandis.

Tak Sekasta, Tapi SamaWhere stories live. Discover now