Niat Pertama

26 5 3
                                    

Setelah 4 bulan berkutat dengan naskah yang seperti tak ada ujungnya, akhirnya, naskahku jadi. Di sela-sela kesibukanku kerja dan kuliah, naskah setebal 300 halaman rampung kuedit. Kutujukan pada sebuah penerbit yang sepertinya dapat menerima naskahku dengan tangan terbuka. Selain untuk mengasah kemampuanku, menulis adalah caraku menyambung hidup di perantauan. Honor menulis puisi maupun cerpen tergolong lumayan untuk kugunakan makan dan jajan sehari-hari.

Tiga bulan setelahnya, kudapati sebuah balasan melalui pos-elku. Balasan yang membuatku senang bukan kepalang.

Keesokan hatinya, di sebuah cafe yang menu utamanya susu, aku bertatap muka langsung dengan seorang utusan dari redaksi. Membicarakan naskahku yang akan naik cetak. Alhamdulillah.

Degup jantungku berpacu, ketika si utusan berkata akan terlambat 10-15 menitan. Bagiku, tak apa, hari itu aku sedang nganggur di kostan. Jadwal kuliahku masih jam 2 siang, sedangkan jam di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul 9.15 menit.

"Assalamualikum. Dengan saudari Tectona Grandis?" kualihkan fokusku dari gawai menatap seseorang yang baru datang. Ah, dia. "Waalaikumussalam,"

"masnya dari Penerbit Suara Pena?" tanyaku memastikan.

Setelah mendapatkan anggukan, kupersilakan dia duduk di depanku. Hari itu, cafe terlihat ramai. Hatiku tak begitu risau walaupun aku harus berhadapan dengan ikhwan asing di depanku.

Di sela-sela membahas naskahku, terlintas sesuatu di otakku. "Masnya yang waktu itu di Masjid Al Munnir bukan, sih? Yang minjemin saya sandal jepit warna hijau?" tanyaku.

"Mbak masih ingat? Iya, itu saya." Jawabnya, masih fokus pada catatan di depannya.

Naskah pertamaku yang akan naik cetak belum sempurna dicek oleh Mas Ilham, editor di Penerbit Suara Pena. Katanya, masih ada beberapa kata yang kurang baku. Kulihat catatannya, detail. Membuatku menyetujui pikiran kutu buku dalam penilaianku.

***

Setelah UAS semester 2, kerja dan kerja menjadi rutinitasku. Sampai suatu sore, via pos-elku, Mas Ilham menghubungiku. Ah, bukan tentang proyek novel keduaku, bukan. Ada hal penting yang membuatnya menghubungiku setelah proyek novel pertamaku selesai.

Dua hari setelah aku membalas pesannya, kudapati ibu menelefonku tengah malam. Sekitar jam 8 malam ibuku mendadak menelefon, padahal, tergolong jarang ibuku menelefonku jika itu tak begitu penting.

"Na, kamu kenal Ilham?" setelah menjawab salamku, to the point ibu menanyakan perkara tersebut. Tak kuduga Mas Ilham seberani itu menghubungi orangtuaku. "Kenal, bu. Ada apa?"

Dan ya, ibu menceritakan tentang kehadiran dan nitanya menyambangi rumah ibuku. Entah takdir atau apa, ayahku sedang berada di rumah setelah lama merantau ke Kalimantan. Pikiranku bercabang, apakah orangtuaku langsung menjawab? Ataukah menyerahkan segalanya padaku?

"Segera buat jawabannya, Na. Tak baik menggantungkan begitu lama, ibu lihat, dia baik. Ah, tapi semua itu terserah kamu. Jangan lupa banyak berdoa, minta petunjuk Allah."

Aku belum menemukan jawabannya sejak Mas Ilham mengutarakan maksudnya meminta alamat rumah orangtuaku. Sadar dari kebingunganku, aku pun bergegas mengambil air wudu. Menggelar sajadahku, melaksanakan salat istiqarah ke sekian kalinya.

***

Dari lembaran CV yang ia berikan, aku sedikit mendapatkan gambaran. Juga menjadi lebih mantap dalam mengambil keputusan. "Apa yang membuatmu terlihat ragu-ragu?" seperti telepati, ayahku dapat membaca raut wajahku yang mengandung rasa ragu-ragu. Tak ingin melukai perasaan kakakku, aku masih menyimpan jawabanku. Membuat seseorang yang mengkhitbahku menunggu.

"Jangan percaya mitos seperti itu, Na. Jodoh sudah diatur, cepat atau lambat. Kakak tahu jawaban istiqarahmu, dan kakak nggak mau jadi penghalang kamu menyempurnakan separuh agamamu." Seperti pinang dibelah dua, kakakku, Cendana juga jelas membaca raut kekhawatiranku. Aku hanya mampu tersenyum kecut, terlalu takut untuk melangkahi kakakku sendiri.

Ibu yang baru datang dari dapur terdengar menghela nafas. "Besok, Ilham dan orangtua mau datang ke sini. Silaturahim katanya."Deg, kenapa secepat itu?Kulihat tanggalan di dinding, sudah jatuh tempo. Mau tidak mau, hari esok aku harus memberinya jawaban. Bismillah.

Sejak pagi-pagi, detak jantungku tak mau berjalan normal. Berpacu seperti dalam arena balapan, membuatku sedikit salah tingakah sekali ditatap oleh keluargaku. Karena makanan dan segala hidangan telah disiapkan ibu, aku mencoba mendatangi kamar kakakku. "Mbak Dan, Ona boleh masuk?" izinku setelah mengetuk pintu. Terdengar ia membolehkanku.

Nuansa serba merah muda menyambut pengelihatanku, poster-poster boyband Korea terlihat menempel di sana-sini, lampu tumbler  terlihat membentuk lambang Exo tertempel di atas sandaran tempat tidur. Beberapa furniture dalam kamarnya jelas menggambarkan kecintaannya pada negeri gingseng tersebut. Kamar ala Korea yang sering ditonton kakakku sampai subuh terlihat rapi. Aku tersenyum, apakah kakaku benar-benar ikhlas mempersilakanku menerima khitbahnya?

"Maraton drakor  lagi, mbak?" tanyaku, kulongokkan wajahku menatap layar laptopnya. Ah, benar saja, ia masih asyik menonton drakor  yang ia sering ceritakan saat malam hari main ke kamarku. Tentang cinta Go Hye Mi, Song Sam Dong, dan Jin Gook.

"Kamu masih ragu buat menjawab iya? Jangan kelamaan mikir, nanti keburu ilang. Aku ikhlas, aku kan nunggu bang So Jong Ki. He he he." Tawanya, selalu seperti itu. Mengkhayalkan aktor korea idolanya menjadi imamnya kelak. Cendana...Cendana, aneh-aneh saja kamu mbak.

Dari bawah, terdengar ibu berteriak menyuruhku membuatkan minum tamu. Ah, pasti itu dia. Sudah datang ternyata.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 28, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tak Sekasta, Tapi SamaWhere stories live. Discover now