* Scene of The Greatest Showman (Song: A Million Dreams)
Namanya Adie. Aku mengenalnya ketika PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) lima tahun silam. Waktu itu, tak seperti kebanyakan mahasiswa laki-laki lain, dia tampak agak berbeda. Dia sering menatap jauh, entah apa yang dipikirkannya. Aku suka ketika dia berjalan dengan kakinya yang panjang mengikuti teman-temannya yang lain. Tak banyak bicara, hanya ikut tersenyum ketika teman lainnya tertawa. Lalu ikut bersenandung ketika yang lainnya bernyanyi.
Waktu itu dengan hati-hati Aku mengikuti jejak kakinya yang tertinggal di pasir pantai yang dilaluinya. Setengah mati Aku tak ingin siapapun tahu. Aku takut mereka mengira bahwa Aku tak waras dan begitu serakah-mungkin. Hari itu adalah hari terkakhir Aku bisa melihatnya dengan bebas. Karena hari itu adalah hari perpisahan kelompok PKKMB kami.
Rentang waktu dan banyak selipan cerita di dalamnya membuaku mulai melupakan Adie. Kesibukanku sebagai anak kampus dan anak organisasi membuatnya diam-diam pergi dari hatiku, penglihatanku, dan pendengaranku.
Seperti kebiasaanku menyimpan buku lama yang sudah penuh dengan coretan ke dalam kardus. Cerita tentangnya pun begitu. Meski belum banyak halaman yang Aku tulis mengenai dirinya. Buku itu tetap Aku simpan di dalam kardus karena sudah terlalu tua untuk Aku tulis. Dan Aku tidak tahu harus menuliskan apa lagi di sana setelah menulis CINTA SEMUSIM. Aku sengaja menggunakan huruf kapital agar Aku sadar dengan apa yang sedang Aku rasakan saat itu.
Suatu hari di musim hujan. Sepulang dari mengajar di sekolah, Aku bertemu dengannya. Adie. Adie yang dulu begitu kurus karena jarang makan sekarang terlihat lebih berisi. Meskipun tidak berotot seperti Aderai. Haha. Waktu itu Aku tak sanggup berkedip apalagi tertawa. Bernafas saja sulit. Tentang dia yang dulu begitu kurus, entah dia ingat atau tidak, dia sempat bercerita padaku. Saat kami sibuk mempersiapkan pentas seni untuk penutupan PKKMB, saat dia melihat sebungkus nasi. "Nasi sebegini banyak, biasanya bisa untuk tiga kali makan," katanya pelan.
Aku yang sengaja mengecat poster di sampingnya-agar mudah mendengarnya dan melihatnya- sangat mendengar kalimatnya. Dengan segenap perasaanku, Aku memberanikan diri untuk mengomentarinya. Rasanya seperti ada sebuah benda yang berat yang sedang menghimpit dadaku. "Kasihan sekali Kamu."
"Haha. Itu hal biasa bagi anak kosan kan? Kamu tidak begitu?" Aku tak menyangka dia akan menjawabnya, malah Aku bisa melihat deretan giginya yang rapi.
"Aku makan tiga piring nasi tiga kali sehari."
"Bahkan Aku sering memancing di muara pantai Padang untuk makan malam."
"Benarkah?" Aku tak menyangka, prihatin, sekaligus bangga. Setelah itu sedih karena dia mengangguk dan diam.
Jadi, pertemuan saat musim hujan itu adalah ketika Aku sedang berlindung di salah satu emperan toko untuk menunggu angkot. Seseorang dengan tas gitar yang tersandang di pundaknya tak sengaja menyikutku. Dialah Adie.
"Maaf." Katanya pelan dengan sorot mata menyesal. Tetapi kemudian sorot matanya mulai berubah ketika dia mengamatiku. "Ani."
Dia menyebut namaku. Itu tidak terlalu penting. Bagaimana dia bisa mengingat namaku?
"Adie." Kataku pelan. Aku hampir saja menggigit lidahku saat menyebut namanya.
Dia tertawa, tawa yang sudah sangat lama tidak Aku lihat. Suaranya renyah-renyah? Saat Aku menoleh ke belakang, ternyata ada yang sedang makan kerupuk- Meh. Merusak suasana saja.
"Jadi Kamu sekarang jadi guru?" Dia melihat seragamku.
"Ya, bagaimana dengan Kamu Adie?" sekali lagi Aku menyebut namanya.
"Aku bekerja di sebuah dunia tanpa batas."
Aku sangat tertarik, adakah tempat seperti itu? Siapapun yang mengenalku pasti tahu bahwa Aku sedang tidak senang dengan rutinitas hidupku. Menjadi guru memang pekerjaan luar biasa menurutku. Tetapi tidak cukup murah hati untuk membiarkanku tetap berkreatifitas dengan imajinasiku, pekerjaan ini mengikat sayapku yang ingin terbang bebas. Setiap hari, kecuali hari Minggu. Aku berseragam lengkap, pergi pagi pulang petang. Bertemu dengan berbagai jenis manusia. Aku menghargainya, tetapi terlalu ramai untuk jiwaku yang menyukai kesunyian. Bahkan ada hari di mana Aku tidak ingin berbicara dengan siapapun, tetapi pekerjaanku membuatku harus berbicara sepanjang hari.
"Adakah pekerjaan yang memberikan dunia seperti itu?" Aku menyangkalnya, tidak percaya.
"Ada. Aku salah satu pekerjanya."
"Jadi apa itu pekerjaanmu di dunia tanpa batas?"
"Musisi." Dia mengucapkannya dengan tenang sambil menatap jauh ke depan. Seolah sedang meresapinya. Menatap jauh. Itu kebiasaannya.
Dia sekarang seorang musisi. Terdengar keren dan pantas untuknya. Lihatlah rambutnya yang ikal bergelombang, dibiarkan panjang sebahu, lalu diikat ke belakang. Dia mengenakan jas lusuh dengan celana jins yang agak kebesaran untuknya. Penampilannya semakin sempurna dengan topi panama yang menutup kepalanya.
"Apa kamu menyukainya?"
"Tentu. Sangat malah. Meskipun terkadang beberapa hal sulit membuatku harus bersabar. Pekerjaan itu juga yang mempertemukan kita hari ini. Aku baru saja selesai mengisi acara di kotamu ini."
"Benarkah? Lalu di mana acara itu? Kamu tidak mengundangku?" Aku menyesal mengatakan Kamu tidak mengundangku? Aloha. Yang benar saja. Aku bukan siapa-siapa.
"Aku tidak punya satupun kontakmu. Oh, boleh minta nomormu?" Dia mengeluarkan smartphonenya.
Yippi! Dengan senang hati yang tersembunyi dan kucoba untuk sembunyikan, Aku menyampaikan nomorku dengan hati yang girang dan suara yang kubuat setenang mungkin.
Lalu setelah hari itu tidak mungkin lagi untuk bertemu dengannya. Hujan yang reda, jalanan yang basah, bau petrikor yang kuat, dan kenangan itu tertulis sempurna di dalam buku tua yang terpaksa Aku ambil lagi dari dalam kardus yang entah ditumpukan ke berapa. Siapa sangka dia akan semakin jauh dari jangkauanku. Mengesalkan. Datang dengan hembusan angin, mengetuk jendelaku, lalu menghilang seperti angin juga. Bahkan dia sekarang sedang berada di Jerman, terpilih sebagai pianis untuk produksi opera anak-anak di Bremen Opera House.
Dulu. Selalu dulu. Aku hanya punya cerita tentang dia di masa lalu.
Jadi, dulu Aku sering membayangkan apa yang sedang dilakukannya. Mungkinkah dia sedang bermain gitar di bawah temaramnya sinar bulan dan angin pantai Padang yang berhembus pelan, lalu menuliskan lirik lagu sambil menyeduh secangkir kopi-sekarang Aku yakin itu tidak mungkin terjadi karena itu sangat menyeramkan dan angin bisa saja menerbangkan kertasnya sebelum sempat dituliskan sebait lagu pun di sana. Lagian dia pasti sibuk dan menguras otak untuk mengurus segala macam not balok, tangga nada, atau apapun itu di diktat kuliahnya-.
Sekarang Adie sudah di sana. Dia yang dulu memancing ikan lalu memanggangnya untuk makan malam dan jika bersisa untuk sarapan, kini sudah ada di Jerman. Bermain dengan piano. Mungkin itulah mengapa dia selalu menatap jauh ke depan. Memandangi dunia tanpa batas yang ingin dikunjunginya.
Hari ini, dengan sebuah surat pengunduran diri yang tergeletak di atas mejaku, Aku akan memulai hidup baru. Menjadi apa yang Aku inginkan. Selama ini Aku selalu takut untuk mewujudkan mimpiku untuk menjadi sebuah kenyataan. Mimpi untuk menjadi seorang sastrawan-seutuhnya. Meskipun sulit dan sakit pada mulanya. Itu akan Aku jadikan sebuah jeda, jeda yang sementara waktu memisahkan Aku dengan kesuksesanku. Jika telah berhasil melewatinya, Aku kira Aku akan menjadi diriku sendiri, tidak perlu terkekang lagi.
Tak berapa lama setelah Aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, Adie mengirim sebuah pesan. Kamu tahu? Di sini sangat menakjubkan. Aku harap suatu hari nanti kamu juga bisa ke sini. Aku senang. Lalu selanjutnya, Akhirnya Aku bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah kemenangan berbentuk cincin berbatu permata. Aku sangat senang. Lalu, Aku akan meminang wanita yang selama ini Aku nanti. Siapa? Kamu akan datang ke pesta pernikahanku kan? Kali ini Aku tidak akan lupa mengundangmu.
Yah. memang dibutuhkan sedikit keberanian untuk menghadapi kebebasan yang Aku inginkan. Tapi siapa peduli lagi? Aku akan tetap menjadi diriku yang baru. Tentu Aku akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Old Journal (Kumpulan Cerita Pendek)
Teen FictionMimpi adalah suatu hal yang harus diusahakan agar menjadi kenyataan. Dengan sekuat tenaga, sepenuh hati, dan sesabar sungai. Hingga akhirnya di sinilah kita, menikmati hari-hari indah dengan hati yang damai.