*Ipank (Mandeh Pai Ayah Bajalan)
Bunga serunai yang ditanami ibu mulai tumbuh tak beraturan. Menjalar seenaknya dan mekar seenaknya, pun mati seenaknya. Setiap kali pulang ke Bukittinggi aku selalu berniat untuk membabat habis semua bunga yang mulai tak terawat, tapi niat itu selalu tak pernah kesampaian. Sudah dua tahun taman itu mulai bersemak. Rumah kami yang memang kecil mulai tak nampak. Bunga menjalar menutupi sebagian dinding depan. Bunga yang ditanam di dalam botol-botol dan digantung di dinding-dinding rumah, mati. Tanahnya mengering, bunganya sudah lama tak nampak lagi. Sebagian orang mungkin mengira rumahku tak berpenghuni. Rumah tinggal. Bahkan, ada yang berpikir rumah berhantu.
Padahal di dalamnya, tepatnya di belakang rumah, ada Ayahku yang selalu sibuk menggergaji, mengamplas, atau memaku, kadang-kadang mencat beberapa meja, bangku, kursi, atau perabot rumah tangga yang lainnya. Dia punya usaha mebel. Aku yang kuliah di luar kota jarang menelepon Ayah, bahkan hanya sekedar menanyakan makan apa Ayah hari itu tak sempat. Sebenarnya bukan tak sempat, tapi aku mulai bosan. Sejak awal-awal kepergian Ibu, aku memang sering menelepon Ayah ke rumah, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai jenuh bertanya tentang hal yang sama pada Ayah. Aku yakin dia juga mulai bosan karena aku tanyai pertanyaan yang sama berulang kali. Ayah sudah makan? Makan pakai apa? Adakah sehat? Sedang apa? Sederetan pertanyaan yang basi.
Lalu, hari itu aku pulang ke rumah. Aku melengos melewati taman yang sudah tak bertuan. Ibu tega sekali meninggalkan rumah dan taman ini? Betapa kehadiran ibu sungguh berarti setelah ia tak lagi ada. Biasanya, aku melihat ibu yang merapikan taman sebagai suatu rutinitas biasa. Tak pernah terpikir bagaimana jadinya jika tak ada ibu, dulu. Tapi kini, lihatlah rumah yang sepi ini, lihat jugalah Ayah yang kusut masai ini. Bajunya tak bersetrika, dicuci sekenanya, atau mungkin hanya untuk menghilangkan bau saja. Mata ayah tak bersinar seperti saat ibu ada. Lebih banyak diam daripada tertawa. Lebih banyak melamun daripada bekerja. Aku kasihan pada ayah dan lebih kasihan pada diriku sendiri. Dulu, aku tak pernah berpikir bahwa ibu dan ayah akan saling membenci, tak bertegur sapa, dan saling menjauh. Seidikitpun tak pernah terpikir olehku.
Dia, ayah menunungguku. Dia membuka pintu tepat saat aku berhasil melewati jalanan penuh semak menuju rumah. Tanaman bunga putri malu selalu mengatup saat aku sengaja atau tidak sengaja menyentunya dengan atau tanpa sepatuku. Suara pintu berderit seperti film horor yang selalu ku tonton setiap akhir pekan. Wajah ayah yang tak lagi muda melongok keluar, matanya sipit saat bersitatap dengan sinar terang matahari. Aku menyalaminya. Rutinitas setiap kali pulang ke rumah ya salaman. Kemudian, basa-basi menanyakan bagaimana kabar masing-masing. Apakah aku anak durhaka? Entahlah, aku hanya takut jika bertanya lebih jauh dan bercerita lebih dalam, aku takkan sanggup menahan air mata yang sudah lama tertampung di telagaku. Aku tak enak hati menangis di depan ayah yang juga sedang bersusah payah menghibur diri di depanku.
"Bagaimana pesanan mebel, Pa?"
"Seperti biasa, biasa saja. Sudah jarang yang memesan lemari, meja, atau kursi pada Papa. Tahulah di luar sana usaha mebel sudah menjamur."
"Ya memang, Pa. Hanya usaha mebel Papa yang akhirnya berjamur di tengah semak-semak ini." Kataku menggodanya. Aku melihat kondisi ruang tengah rumah kami tak jauh berbeda dengan kondisi di luar. Serba tak beraturan.
"Biasanya, ada satu gelas saja yang tak terletak pada tempatnya, Ibu akan langsung mengomel. Menyebut-nyebut kesalahan aku atau Papa dari yang pertama hingga pada meletakkan gelas di sembarang tempat. Sampai kuping merah." Aku melihat bagaimana reaksi ayah saat aku menceritakan kembali tentang kebiasaan Ibu.
"Sudahlah, yang sudah memilih pergi tak usah diingat lagi." Ayah bangun dari tempat duduknya. Saat itu juga debu terlihat beterbangan di sekitar bekas tempat Ayah duduk. Debu itu keluar dari sofa yang sudah entah berapa hari tak pernah ditepuk-tepuk untuk menghilangkan debunya. Aku kemudian melirik sofa yang aku duduki. Kemudian, "Aaaa!" seruku sambil berjingkrak-jingkrak mengibaskan tangan mengusir kecoa yang menggerak-gerakkan kumisnya di atas rokku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Old Journal (Kumpulan Cerita Pendek)
Teen FictionMimpi adalah suatu hal yang harus diusahakan agar menjadi kenyataan. Dengan sekuat tenaga, sepenuh hati, dan sesabar sungai. Hingga akhirnya di sinilah kita, menikmati hari-hari indah dengan hati yang damai.