Cinta Lama Bersemi Kembali

12 0 0
                                    

*Dadali (Cinta Lama Bersemi Kembali)

Langit amat cerah siang itu, awan-awan bagaikan gumpalan kapas mengelompok membentuk apa pun yang diinginkan imajinasi. Di sudut langit, sekelompok awan tampak seperti segerombolan domba yang sedang merumput. Semilir angin berhembus seperti sekawanan serigala, mengganggu gerombolan domba. Awan-awan kemudian berpencar menjadi garis-garis tipis kemudian hilang. Langit benar-benar biru bersih.

Tempat ini cocok bagi seseorang yang ingin meringankan beban-beban berat di pundak. Menghilang dari keramaian dan kebisingan kota. Tak terdengar klakson mobil yang bagaikan nyanyian rocker di panas terik matahari. Yang terdengar lagu-lagu berirama tenang, mendamaikan. Sambil mendengar lagu, pikiran bernostalgia dengan masa lalu. Awalnya seperti tumpukan puzzle di dalam botol kaca, susah payah diterka. Kemudian menjadi sebuah gambar yang sangat jelas di atas meja. Menyajikan realita yang mungkin sangat pahit. Sepahit kopi Aceh tanpa gula yang kini tengah diteguk gadis berambut hitam yang sedang duduk sendirian, menopang dagu dan linglung.

Sudah berapa lama Aku tidak pulang ke kampung halaman? Ah, baru empat tahun, rasanya sudah sepuluh tahun saja. Hmmm, tak banyak yang berubah. Langit masih sama birunya, udara masih sama segarnya, dan kenangan di sini masih sama menyakitkannya. Kira-kira seperti itulah selintas pemikiran yang sedang berlari-larian di benaknya. Kadang-kadang kenangan meloncat dari satu waktu ke waktu yang lain, suka-suka si pemilik hati.

Handphone-nya berdering lagi, untuk kelima kalinya. Dia melihat nomor yang tertera di layar, lalu membuang muka ke luar kafe yang sepi. Pohon bongsai yang dipotong seperti dua ekor angsa—satu sedang membersihkan bulunya dan satu lagi sedang menatapnya—heran. Handphone-nya berdering lagi, tiga kali dengan nada sebuah pesan telah diterima. Pasti dari orang yang sama, kira-kira seperti itu bisik benaknya. Orang yang sangat jahat dan jahat, lebih jahat lagi dari jahat.

ADIRA MELIRIK KESAL ke arah munculnya segulung kertas yang dilempar mengenai punggungnya. Satu, dua, dan tiga kali Dia diam saja memendam kesal dan masih mencoba fokus pada penjelasan mentor bimbingan belajar ujian nasional kelas XII SMA jurusan IPS. Bukan main, orangtuanya sudah mengeluarkan banyak uang dan bekerja dua kali lipat dibanding hari biasanya hanya agar Adira bisa duduk di salah satu bangku bimbel yang terkenal ini. Ternyata sampai di sini Dia harus berurusan dengan seorang preman sekolah. Kertas keempat dilempar lebih keras dengan ukuran lebih besar. "Apa sih?!" Mata seisi ruangan menuruti keiginan pemiliknya untuk mencari tahu, suara siapa yang berani mengganggu konsentrasi belajar siswa yang sebentar lagi akan ujian nasional. Adira, pemilik rambut hitam itu tidak merasa harus minta maaf. Dia mengabaikan pandangan mata yang sudah mulai fokus ke depan kelas karena mentor memukul papan tulis. "Harap serius."

Hujan. Tepat saat bel pulang berdentang. Siapa yang mengira bahwa langit yang tadi cerah sepulang sekolah, akan basah sepulang bimbel. Adira membuka payungnya dan siap melangkah, sebelum langkahnya dicegat preman sekolah. Preman itu tersenyum khas ala preman. Susah untuk dituliskan dengan kata-kata, namun Adira paham betul dengan senyuman itu. Bad Boy. "Ojek payung dong, sampai rumah." tanpa persetujuan preman sekolah itu berdiri bersisian dengan Adira yang masih kesal.

Adira berlari-lari kecil di bawah hujan, payungnya ditinggal untuk preman sekolah itu. "Ambil saja." Untung saja angkot cepat datang sehingga Dia tidak terlalu kebasahan. Di dalam angkot, matanya memandang preman sekolah yang memlambaikan tangan padanya sambil tersenyum, khas ala preman. Hubungi Aku, penting. Begitu pesan singkat yang tertulis dalam segumpal kertas, di bawahnya tertera nomor handphone dan nama yang bagi Adira terbaca seperti nama preman, Kuntara.

Tidak terasa waktu bergulir begitu saja, memekarkan kuncup-kuncup bunga, mengokohkan tunas-tunas muda, dan menguningkan daun-daun tua sebelum akhirnya sirna dari rantingnya. Dua bulan masa pdkt alias pendekatan, masih membuat Adira ragu untuk menerima ajakan preman sekolah yang kini akrab dipanggilnya Kun—untuk berpacaran. Apa Aku tidak terkesan murahan kalau menerimanya terlalu cepat? Bukankah Aku begitu kesal padanya? Tapi Dia baik, tampan meski preman, dan Dia pandai bernyanyi, suaranya merdu ditambah petikan gitarnya syahdu. Lalu, karena beberapa alasan itu, lebih tepatnya karena jiwa mudanya penasaran dengan hubungan antara remaja laki-laki dan perempuan, akhirnya Adira menerima Kun sebagai kekasihnya di masa putih abu-abu yang hampir usai.

My Old Journal (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang