Reach Dream!

7 1 0
                                    

aku ingetin lagi gaes, selalu vote dulu, baru baca and comment... makasih yaa....

















"BUNDAAAA!!!! ABAAANG!!!! SINI BUNDA, CEPETAN! DERA TAKUT, BUN!" Dera yang berada di dalam kamarnya, teriak-teriak tidak karuan. Vera –Bunda Dera- yang mendengar teriakan putrinya segera berlari ke kamar sang putri. Begitu pula dengan Dero –Abang Dera- yang mengekori sang Bunda.

"Dera? Kenapa sih? Teriak-teriak? Pake lompat-lompat di tempat tidur bawa sapu lagi! Kenapa sih, sayang?" Vera segera menghampiri Dera. Dan menahan Dera untuk tidak lompat-lompat lagi di tempat tidur.

"Bun, itu," tunjuk Dera ke depan meja belajar yang ada di dekat pintu.

"Apa sih sayang?" Vera mengikuti arah telunjuk Dera. Dero juga melakukan hal yang sama. Dia melihat ke arah yang ditunjuk Dera.

"Itu, Bun. Ada kecoak! Dera takut, Bun! Entar kalo terbang gimana?"

"Halah, cuma kecoak aja takut. Tu kecoak nggak terbang Dera. Tu ke-AAAAAAAA!!" Dero seketika lari mendekati Dera, dan lompat-lompat di atas kasur sambil bergidik ngeri. Dera dan Bunda yang kaget dengan tindakan Dero, langsung mengalihkan perhatian ke Dero dengan mulut terbuka. Dero masih setia melompat di atas kasur. "Ih, Bun, Dero jijik, Bun. Dero takut!"

"Katanya Abang gak takut sama kecoak! Kok ini lompat-lompat kalo gak takut?" tanya Dera dengan polosnya. Dero seketika menghentikan lompatannya, dan merubah wajahnya menjadi sok cool. Dia turun dari tempat tidur Dera sambil menyisir rambutnya.

"E-emang g-gue nggak takut. Sapa bilang gue takut?" Dero berbicara, namun matanya kesana kemari.

"Kalo Abang gak takut, kok lompat-lompat tadi?"

"Ya, Abang kan cuma kaget tu kecoak tiba-tiba terbang."

"Halah, bilang aja takut!" ejek Dera dengan senyum kemenangan.

"Abang nggak takut!"

"Takut!"

"Enggak!"

"Takut!"

"Enggak!" dan seketika perang mulut pun dimulai. Adek sama abang, sama-sama gak mau kalah. Pengennya menang.

"Udah-udah," Bunda mencoba melerai keduanya. "Kalian ini dah kuliah sama SMA ya! Dah gede-gede semua! Tapi kelakuan masih aja kayak anak TK. Anak TK aja masih mau ngalah! Masak kalian yang udah gede nggak mau kalah? Nggak malu sama Tika sama Doni yang masih TK? Ha?" Dera dan Dero seketika diam. Tidak menanggapi ucapan Bunda mereka. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. "Kalo kalian masih kayak gini, besok Bunda balikin kalian ke TK!" Vera meninggalkan anak-anak mereka. Dera dan Dero saling menyalahkan ketika Vera sudah keluar.

"Abang sih! Kenapa gak lari keluar aja sih tadi?"

"Elo lah! Ngapain nyalahin gue?"

"Udah, ah. Sana keluar. Gue males debat lagi sama lo! Hush!" Dera mengusir abangnya keluar. Setelah abangnya keluar, dia mengecek keadaan kamarnya, kalau-kalau ada kecoak yang masih berkeliaran. Setelah ia memastikan aman, ia menutup pintu kamar dan kembali ke tempat tidurnya.

***

"Anjay, Ra! Gue dimarahin nyokap astojim!" curhat Zera setelah meminum lemon squash di sebuah kafe. Hari itu hari Jumat. Zera meminta Dera untuk bertemu karena ia ingin bercerita.

"Lah, ngapain lo dimarahin?"

"Lo tahu sendirilah tadi pas ambil rapot! Selesai ngambilin rapot gue nih, nyokap langsung ngajak gue pulang. Di mobil juga biasanya nyokap gue cerewet, tu malah diem. Gue takut sumpah! Trus, pas di rumah, nyokap ngajak ngomong 4 mata. Rapot gue dilempar di depan gue! Terus gue dimarahin, karena nilai-nilai gue turun! Kan anjay!"

"Lo, sendiri sih! Bisa-bisanya nilai lo turun! Emang rata-rata lo sekarang berapa?" tanya Dera. Ia yakin kalau rata-rata Zera lebih bagus darinya, karena Zera selalu masuk 5 besar. Sedangkan ia, hanya masuk 6 besar. Oleh sebab itu, Zera dan Dera terus bersaing untuk lebih unggul. Tapi, mereka tidak pernah pelit berbagi materi ketika sedang belajar bersama. Perbedaan mereka berdua cukup mencolok. Zera lebih suka dengan pelajaran berbau angka, sedangkan Dera lebih suka pelajaran berbau logika.

"9,2. Gila aja nyokap. Gue dah bersyukur dapet rata-rata segitu, walaupun jauh dari target gue!" Dera yang sedang meminum greentea lattenya, tersedak ketika mendengar rata-rata nilai Zera.

"Busyet, Ra! Tinggi amat tu rata-rata! Emang yang semester lalu berapa?"

"9,4!" jawab Zera dengan wajah ditekuk.

"Wanjay!! Cuma beda 0,2 ndes. Otak lo otak ape sih? Encer bener! Jangan-jangan lo keturunannya Albert Einstein ya?" Zera memang anak yang manja. Tapi dia sangat pintar. Dia selalu mengikuti perlombaan akademik. Tak heran jika ia cukup terkenal di sekolah.

"Apaan sih lo! Lebay deh. Emang rata-rata lo berapa?" tanya Zera. Ia penasaran dengan rata-rata nila Dera. Nilai Dera cukup bagus. Ia merupakan saingan Zera. Tapi Dera lemah di pelajaran berbau angka. Ia lebih unggul di pelajaran yang menggunakan logika. Sehingga ia lebih cakap di depan umum. Ia juga mengikuti lomba-lomba debat, dan Dera bersama timnya berhasil meraih beberapa juara.

"Sama kayak semester lalu, 8,9."

"Udah nggak papa, kan masih ada kelas sebelas. Lo naikin nilai lo di kelas sebelas. Jadi nanti, lo bisa ikut SNMPTN." Zera memberi semangat kepada Dera. Ia senang jika sahabatnya itu mendapat nilai yang bagus. Memang, itulah gunanya sahabat. Selalu mensupport kita dalam segala keadaan, menghibur kita saat kita sedih. Bukan yang dating ketika senang atau lagi butuh, trus ninggalin kita gitu aja saat kita sedih atau dia dah nggak butuh. Temen musiman namanya. Tapi katanya, temen yang bener-bener temen atau real friend, katanya bullshit. Gak ada temen yang bener-bener real. Yang ada cuma fake friend. But, itu gak berlaku buat Zera sama Dera saat ini. Mereka berharap, bahwa mereka bisa selalu ada satu sama lain.

"Aduh.. dapet semangat nih.. "

"Baperan, lo!"









up lagi... vote and comments selalu ya... biar gue makin semangat... 

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang