"Untuk menghilangkan, kamu hanya perlu menghilangkan."
Aku memimpikan seseorang mengatakan kalimat itu untuk kelima kalinya. Wujudnya pun begitu samar walau sudah berulang kali muncul dalam mimpiku, aku tetap tidak bisa mengetahui siapa. Suara laki-laki. Hm, sepertinya laki-laki dewasa. Entah, aku tidak bisa memastikan. Aku sedang duduk di sebuah kursi, di sekelilingku gelap. Sekelebat bayang itu berlalu dengan cepat di hadapan mataku dan suara asing itu terdengar, sepersekian detik. Selalu berulang dengan rupa mimpi yang sama. Ini menakutkan, namun aku tidak berniat untuk menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Kak Sofia.
"Gean, kamu sudah bangun?" Sebagian kepala Kak Sofia muncul dari balik pintu kamar.
'Pas sekali!' gumamku. "Sudah, Kak, baru saja."
"Mau bantu aku di toko?"
Matanya sedikit berbinar ditemani dengan senyum tipis yang manis. Ciri khas Kak Sofia. Caranya meminta tolong selalu saja membuatku tidak bisa menolak sebab ia mampu memancarkan ketulusan dari wajahnya. Aku bisa mendengar suara lain dari Kak Sofia dan sedikit pun tidak pernah aku mendapati energi negatif darinya. Selalu saja mampu mengolah segala rasa dan kata dengan positif. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi diriku sendiri, bahkan mungkin lebih dari itu.
Dalam waktu kurang lebih lima belas menit aku sudah berada di depan lemari pendingin minuman sambil melakukan stock opname minuman siap saji di dalam toko.
"Kak, kamu masih ingat tentang 'buku Milik Bhumi Biru' yang beberapa waktu lalu aku ceritakan?"
"Hmm, iya?" (Masih, Gean)
"Kemarin siang aku bertemu dengannya lagi di kampus."
(Lalu?)
"Dan kali ini aku mendengar suaranya yang lain."
"Katamu dia sunyi."
"Hmm... Semula aku pikir dia berbeda, Kak. Tapi ternyata sama saja. Aku bisa mendengar dengan sangat jelas. Tidak mungkin aku keliru, aku yakin. Bahkan dia mengenaliku."
"Apa mungkin saat pertama kali bertemu denganmu kemarin, dia tidak sedang memikirkan apa-apa?"
"Kak?" kedua mataku mendelik, mencoba memahami sesuatu. Setelah meletakkan buku catatan stock opname minuman di atas meja kasir, aku mendekati tubuh Kak Sofia. "Bagaimana mungkin suara pikiran kita diam? Bahkan yang paling berisik dalam keheningan sekalipun adalah suara pikiran kita, kan?"
***
[www.serenity.com]
Suara yang Diam, ditulis oleh: Aegean NolaDulu, saya pernah berpikir bahwa orang-orang yang menulis itu adalah mereka yang terluka.
Nyatanya, tidak.
Pun saya sering sekali menemukan kalimat ini, "Kalau kau kehilangan selera untuk menulis, maka jatuh cintalah atau patah hatilah".
Nyatanya, tidak.
Selain tentang menjabarkan keresahan, ketidaknyamanan, tentang apa pun yang patah, atau rasa bahagia, menulis sama halnya seperti bercerita. Dan ruang lingkupnya begitu luas.
Sedih rasanya saat mendapati ucapan atau kalimat bahwa menulis hanya sebagai pereda rasa sakit atau sekadar menutupi ketidakmampuan untuk mengungkapkan. Alhasil yang terjadi kemudian menulis hanya sebatas curahan hati. Tidak mencakup curahan pemikiran.
Saya mulai menyadarinya setelah melebur di dalam halaman biru tua ini kurang lebih selama dua tahun. Begitu banyak tulisan di sini yang isinya jauh dari sekadar curahan hati semata. Begitu banyak makna dan, astaga, meski yang bersifat personal pun tetap memiliki arti. Sarat akan kehidupan.
Menulis adalah berbagi. Apa yang dibagikan? Tergantung orang yang menulis dan apa yang ditulis. Menulis adalah suara yang diam. Apa pun rupanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bhumi Biru
Fantasy[Telah terbit: Platinum Publisher, 2022] "Aku mendengar banyak hal. Dunia ini bising. Dari dalam kepalaku tumbuh bibit suara-suara yang tidak pernah aku minta keberadaannya." - Gean __________ Illustrator: dilidita Penerbit: Platinum Publisher _____...