Wasiat

461 54 8
                                    


Sebelum Sasuke mendudukan bokongnya di samping Hinata, bel apartmentnya kembali berbunyi.

"Karin sudah ku bilang ki—"

Namun ternyata bukan manager centilnya melainkan pria bule yang tengah berdiri didepan pintu masuk apartmentnya.

"Who are you?" tanya Sasuke ber-inggris. Takut-takut si bule tidak mengerti bahasa jepang.

"Hallo... Saya calon suami Hinata."

Detik selanjutnya Sasuke tidak segan menunjukan betapa kerasnya tinjuan hasil latihannya selama ini.

***

Pagi-pagi sekali Hinata sudah berdiri di halte bus. Udara cukup dingin karena salju yang turun dari semalam, maka Hinata mengenakan pakaian yang cukup tebal beserta sarung tangan. Kalau saja Mr. Jose, Boss ditempatnya bekerja sambilan tidak menyuruh ia datang ke Cafe, mungkin Hinata kini masih memeluk Teddy bear kesayangannya dan bermimpi indah. Bayangkan saja, kalender berwarna merah yang tandanya hari libur nasional tapi Hinata tetap harus bekerja. Hell... Jika kalian ingin tahu, sejak detik Hinata membuka mata sampai ia berdiri kaku di halte, sudah hampir seratus kali ia dendangkan umpatan untuk lelaki keturunan Belanda itu.

Dilihat kembali jam tangan sederhana miliknya, dan lagi Hinata mengumpat.
"Damn... Si botak pasti akan mengamuk."

Beruntung Bus yang sedari ia tunggu akhirnya kini sudah terlihat beberapa meter mendekat. Namun pandangannya teralihkan pada sesuatu. Tidak. Lebih tepatnya seseorang.

Walau putihnya salju hampir mengecoh penglihatannya, tapi terimakasih pada wortel yang setiap hari ia konsumsi membuat mata Hinata bak elang pengintai. Rambut putih seseorang di sebrang jalan menyatu dengan tumpukan salju, orang normal mana yang sedang tidur di tumpukan salju New York. Merasa ada yang tidak beres Hinata segera berlari menyebrang. Melupakan Bus yang sedari tadi ia tunggu. Melupakan kemarahan Jose.

"Excuse me..."

Hinata menilik, barangkali orang didepannya hanya sedang iseng merasakan salju pertama. Namun ketika tidak mendapat respon apapun, Hinata segera berjongkok dan memeriksa keadaannya.

"Mr... Can you hear me?? Are you okay??" Hinata menggapai pergelangan tangan guna mengecek nadinya dan mendapati nadi pria separuh baya itu sangat lemah. Hinata langsung menghubungi ambulance dengan segera.

Hampir setengah jam pria yang ia temukan masuk UGD dan diperiksa Dokter. Dan Hinata terperanjat karena ia baru ingat Mr. Jose memintanya masuk kerja.

"Shit!!!" lagi Hinata mengumpat.

Mana mungkin Hinata begitu saja meninggalkan pria itu sementara keluarga yang sudah dihubungi masih belum juga datang. Ia hanya bisa berdoa Mr. Jose amnesia tentang jam berapa ia menyuruhnya datang.

Dokter yang menangani akhirnya selesai dan mengatakan kondisi pasien stabil dan akan segera dipindahkan ke ruangan pribadi atas permintaan keluarga. Lalu Hinata dipersilakan menemui pria yang seusia kakeknya di Jepang itu. Katanya sih ingin berterimakasih.

Dan sebelum Hinata mengucapkan kata 'Hello' , pria berambut putih dihadapannya sekarang ini langsung menyibak selimut rumah sakit dan menerangkapnya dalam sebuah pelukan erat.

"Arigatou Hime-chaaan... " riang si kakek. "Kau orang jepang juga 'kan? Wajah mu cantik seperti putri Jepang Nak!! "

Hinata mengangguk kaku, masih dalam pelukan si kakek. Saat ia akan berusaha mengurai pelukan namun Hinata sudah terlebih dahulu terbebas dengan cepat dan setelah itu ia melihat si kakek memegang kepala sambil mengaduh kesakitan.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang