~Truthfully but not completely , a lie but not exactly~.
.
.
.
.Hah
Semakin lama semakin sulit menghirup oksigen baginya.
Hah
Tidak hanya terengah, keringat juga terlihat mengucur deras membasahi dadanya yang telanjang.
Bukh
Kembali ia meninju si partner training tanpa niat bermain lembut. Pria berambut putih dihadapannya sudah mengumpat sedari tadi karena kewalahan mengimbangi permainan Sasuke.
Bukh
Beberapa kali tinju yang Sasuke layangkan mengenai pipi sang partner, tapi ia tidak berniat berhenti.
Sasuke sedang marah. Entah pada siapa. Yang jelas dia butuh pelampiasan. Dan Suigetsu sial karena hari ini jadwalnya untuk menjadi lawan Sasuke di Ring.
"Sasuke bastard!! Berhenti ku bilang!!!"
Teriakan Suigetsu kali ini menolongnya dari pukulan Sasuke. Juugo segera menghentikan tangan Sasuke yang berbalut sarung tinju biru dengan badan besar miliknya langsung. Tidak khawatir akan cidera yang mungkin ia dapatkan mengingat Sasuke adalah petinju profesional.
"Sui... Pergi obati luka mu." kata Juugo masih berdiri diantara mereka.
Suigetsu pergi dengan tetap menggerutu kesal. Dalam benaknya merencanakan pembalasan yang akan membuat bungsu Uciha itu menangis darah. Mungkin memasukan obat pencahar di minuman Sasuke salah satu ide bagus. Nanti dia bisa melihat Sasuke kepayahan karena kotoran. Memikirkannya saja Suigetsu langsung terkikik puas, apalagi kalau rencananya benar ia laksanakan. Tapi Suigetsu tidak akan berani melakukannya tentu saja. Bagaimanapun Sasuke harus tetap bugar untuk pertandingan besar bulan depan. Jika Sasuke sakit, semua team bisa langsung dipecat. Termasuk Suigetsu. Belum lagi Suigetsu pasti harus menghadapi Karin. Si manager cerewet berkacamata nyentrik. Tidak. Suigetsu terlalu enggan mendengarkan seribu omelan Karin.
"Kendalikan dirimu. Dari tadi kau tidak fokus dan hanya menyerang brutal. Apa ada masalah?"
Sembari melepas sarung tinjunya, Sasuke menggeleng. "Apa masih ada latihan lain?"
"Tidak. Untuk jadwal latihan selanjutnya nanti Karin akan menghubungi mu."
"Baiklah."
"Sasuke, ingat ini bukan main-main. Pertandingan bulan depan, bukan hanya kau yang bertaruh. Kami juga. Jadi aku harap kau fokus."
.
.
.
.
.Ketika Sakura mengatakan ia tak perlu bekerja dengan keras karena klinik Haruno tidak ramai, Hinata kira itu hanya guyonan. Namun melihat jam tangannya sudah menunjukan pukul satu dan Hinata baru melihat kurang dari sepuluh pasien yang datang ke mejanya untuk menukar resep obat, Hinata akhirnya percaya. Klinik yang berdiri di sebelah restoran keluarga itu adalah sebuah klinik kecantikan, jadi wajar jika yang datang kesana tidak banyak seperti klinik umum.
"Hinata-san, kenapa kau masih disini?" tanya Sakura saat melihat Hinata masih duduk manis dikursinya. Ini sudah hampir sepuluh menit dari jam istirahat. Hinata seharusnya sudah pergi makan siang.
"Saya menunggu Sakura-san keluar terlebih dahulu. Barangkali ada sesuatu yang dibutuhkan." jawab Hinata.
"Astaga... Kau ini. Sudah ku katakan santai saja. Jangan menunda-nunda makan, pikirkan juga si kecil. Bisa-bisa aku dibunuh Sasuke kalau tahu anaknya menahan lapar karena ku."
Hinata mengerjap terkejut. "A-apa?"
"Sasuke sudah memberitahu ku." Sakura menatap Hinata simpati. "Aku tidak akan mengatakannya pada siapapun. Jadi tenang saja oke! Aku doakan semoga kalian bisa secepatnya mendapat restu."
Ada apa ini? Pikir Hinata kebingungan dengan ucapan Dokter muda bersurai merah muda yang sudah meninggalkannya untuk pergi makan siang tersebut.
Anak Sasuke? Restu?
Skenario seperti apa yang Sasuke katakan pada Sakura hingga ia mendapat doa tulus dari rekan barunya.
Kini Hinata bisa merasakan dadanya sesak. Kenapa Sasuke harus memberitahu orang lain tentang kondisinya dan yang lebih parah adalah Sasuke membuat kebohongan besar tentang siapa ayah anaknya.
Tangannya tiba-tiba dingin. Ayah anaknya. Mengingat kembali ayah kandung sang anak, Hinata merasa takut. Ketakutan yang juga dibarengi dengan rasa bersalah yang teramat besar.
Bohong jika Hinata tidak mengetahui atau bahkan mengenal lelaki yang sudah menanam benih dirahimnya itu. Bagaimana bisa ia lupa dengan lelaki yang menjamahnya dengan lembut itu.
Bagaimana bisa ia melupakan cinta pertamanya.
Impossible!!
Namun bagaimanapun juga Sasuke tidak pelu tahu tentang kebohongannya. Satu kebohongan yang untung saja tidak terdeteksi Sasuke.
Dan Sasuke tidak boleh tahu.
.
.
.
.
.Sore pukul empat lebih Sasuke memarkirkan mobilnya di depan klinik Haruno. Langkah besar Sasuke membuatnya dengan cepat tiba diruangan Hinata.
"Kenapa tidak telpon?" tanya Sasuke sedikit kesal. Padahal Sasuke sudah meminta Hinata menghubunginya. Tapi sampai ia selesai dari jadwal latihan rutin tinjunya, tidak ada satu miss call pun dari Hinata.
Yang ditanya tetap bergeming tak menjawab. Dan malah mengacuhkan keberadaan pria yang dikenalnya sejak elementary school itu dan langsung melangkah keluar mendahului.
"Hey, ada apa ini? Kau mengacuhkan ku? "
Sasuke tak terlalu sulit untuk menyusul langkah kaki Hinata.
"Hinata ada apa?"
Langkah Hinata terhenti saat Sasuke memotong jalannya dengan berdiri dihadapannya. Dengan menatap Sasuke tajam Hinata membentak. "Apakah kau mempunyai hak untuk menceritakan rahasia orang lain?" tanya Hinata ketus. "Lalu apa hak mu mengatakan kebohongan besar tentang anakku?"
Sasuke tertegun. "Kita bicarakan di rumah! " perintah Sasuke mutlak. Tangan Hinata langsung di gandengnya menuju mobil. Tak membiarkan adanya penolakan dari si Hyuuga.
"Jelaskan!" kata Hinata lagi setelah mobil Sasuke memasuki jalanan.
"Aku bilang kita bicarakan di rumah, Hinata."
"Aku ingin kau menjelaskannya sekarang juga!" Hinata kini berteriak frustasi dan Sasuke pada akhirnya menurut. Ia pinggirkan mobilnya agar tak mengganggu pengendara lain.
"Katakan! " desak Hinata.
"Aku hanya tak ingin Sakura menyuruhmu ini itu dan kau kelelahan. Itu tidak baik untuk kondisi mu. "
"Tapi itu tidak menjadi alasan untuk membohongi Sakura dan bilang kau ayahnya, Sasuke."
"Lalu aku harus mengatakan apa? Kalau kau hamil karena one night stand di New York dan tidak tahu brengsek seperti apa yang menjadi ayahnya? "
Sebuah tamparan keras Sasuke terima sesaat setelah ia menyelesaikan perkataannya. Sudut bibirnya terlihat berdarah tapi anehnya Sasuke lebih merasa sakit dibagian dada. Apalagi saat setetes demi setetes air mata keluar dari mutiara wanita yang dipujanya. Sejak dulu Sasuke tidak rela kalau Hinata menangis. Dulu Sasuke pernah memukul gurunya dibangku sekolah menengah karena pria tua berkepala plontos itu memarahi Hinata yang terlambat datang hingga Hinata menangis. Tapi saat ini, dirinyalah yang membuat Hinata menangis. Semua ulahnya sendiri. Haruskah Sasuke mencekik dirinya sendiri?
.
.
.
.
.***********************************
Hii everyone... Long time no see hahahaha and im really sorry...
2018 February 27
Sincerely
AbhiNael
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
FanficDisclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto tapi story ini milik saya Gendre: Drama, Romance. Warning: OOC, TYPOs, bahasa mungkin tidak baku dan berantakan. Cast: Hyuuga Hinata x Sasuke Uciha (for now) . . . . . Summary: Jika bisa aku memilih, aku...