Panutan Yang Membuatku Iri

5 1 0
                                    

Hari itu, saat sang surya baru menampakkan dirinya. Kulihat ayahku sudah berdiri bersiap-siap pergi ke sawah. Cangkul sudah digenggamnya, sedangkan bekal makanan digenggam di tangan yang satunya. Saat itu aku baru saja bangun. Aku menggosok-gosokkan tangan ke mataku. Entah kenapa saat akan berangkat ke sawah, sekilas terlihat ayahku memang tampak keren. Saat melihatnya keluar dari pintu, dengan siluet bak arjuna. Gagah, juga berwibawa, tidak aneh memang ibuku memilihnya untuk menjadi pendamping hidup. Namun kurasa ayahku hanya terlihat gagah hanya pada saat itu saja. Saat siang, dia biasa saja.
Karena hari ini minggu, jadi mau tidak mau aku harus menuruti keinginan ayah dan ibuku. Pergi ke sawah. Aku tidak menyukainya. Sebenarnya menurutku lebih mudah membantu ibu bersih-bersih lalu tidur dan bermain HandPhone. Karena di sawah, selain panas, kalau nanti adzan berkumandang, dan pakaianku kotor, pasti merepotkan.
Jalan menuju sawah saat itu masih sangat gelap. Masih terdengar suara jangkrik sepanjang jalan. Kulihat di sepanjang jalan yang gelap itu berbaris pohon mangga, rambutan, dan beberapa pohon kelapa, berbaris rapi membentuk sebuah garis indah dengan warna hijau sebagai warna utamanya. Sebuah lukisan alam.
Dan saat aku dan ayahku berjalan di tepian sawah, terlihat begitu jelas saat sang surya mulai terbit. Sebenarnya hampir setiap hari minggu aku melihatnya, tapi entah mengapa hari ini terasa berbeda. Bukan karena mendung, juga bukan karena terhalang pohon yang tinggi. Tapi saat cahayanya menerpa tubuhku, untuk sesaat aku merasakan firasat yang tidak bisa didefinisikan olehku.
“ayo, semangat. Baru aja sampai kok udah lesu aja” dengan senyuman manis yang dibuat-buat karena sebenarnya aku juga tahu kalau ayah masih mengantuk, akibat menonton bola sampai larut malam. Walaupun tim yang didukungnya kalah 3-0 dari Kroasia. Argentina.

Ayahku sangat suka menonton bola, dan karena tahun ini kebetulan sekali bertepatan dengan pesta sepak bola dunia (piala dunia), jadi ayahku sangat antusias menyambut pesta empat tahunan ini. Sejak jaman keemasan Diego maradona sampai sekarang pun ayahku masih selalu mendukung Argentina.
Namaku Yoga. Lengkapnya Fajar nuriski prayoga. Aku seorang siswa SMP biasa, dengan nilai biasa, sikap biasa, dan tidak ada yang istimewa dariku. Hobiku sebenarnya bermalas-malasan.  Daripada harus pergi ke sawah, aku merasa lebih senang saat bermain game di rumah. Berbanding terbalik dengan ayahku, dia sosok pekerja keras, berwibawa, dan dihormati di kampung. Sebenarnya menurutku apa pentingnya dihormati orang lain.
Pagi itu kami bekerja seperti biasanya, ayahku memainkan keterampilan mencangkulnya, sedangkan aku duduk di bawah pohon mangga sambil bermain HandPhone. Sebenarnya aku juga akan membantu ayah mencangkul, tapi angin pagi terlalu dingin untukku. Jadi nanti saja. Itu pemikiranku.
Saat kurasa sudah cukup hangat, aku bangkit dari dudukku. Lalu menyambangi tempat ayahku. Untuk meminta izin meminjam cangkulnya.
“pak, biar aku saja. Bapak pasti udah capek, kasih pinjam sebentar saja,”tatapku serius, penuh gairah dan semangat. Mungkin karena namaku Fajar atau karena faktor lain, entah mengapa aku merasa sangat bersemangat di pagi hari.
“lho kok sebentar saja sih…bapak udah capek ya sisanya kamu”ayahku menjawabnya dengan jawaban yang sebenarnya tidak ingin kudengar. Kemudian ayahku pergi ke saung, tidur, dan meninggalkan pekerjaan mencangkulnya kepadaku. Saat itulah aku merasa salah bicara.
Tak terasa hari menjelang siang, ditandai dengan adzan di Mushola Al-Hadi terdengar begitu jelas. Mushola indah dengan motif bunga tulip di tembok bagian depannya, lalu sebuah kolam mengalir indah mengeluarkan bunyi yang menenangkan. Mushola itu adalah yang terdekat dari sawah. Sebenarnya banyak sekali mushola di kampung ini. Dibagi dengan cara mempertimbangkan jaraknya supaya semuanya terbagi rata. Namun saat memasuki bulan suci Ramadhan, dan melaksanakan shalat Sunnah tarawih, warga kampung berbondong-bondong datang ke Masjid Al-Falah yang letaknya di tengah kampung, karena ukurannya lebih besar dan mampu menampung semua warga.
“ayo pak, kita rehat dulu. Adzan sudah berkumandang,”kataku. Ternyata perkataanku membangunkan ayah dari tidur nyenyaknya. Sebenarnya aku heran bagaimana ayahku bisa tidur beralaskan kayu. Dia memang luar biasa dan membuatku iri. Setelah itu kami berjalan menyusuri jalan kecil di samping sebuah kebun untuk mendapatkan akses tercepat menuju mushola.
Setelah selesai melaksanakan shalat, entah kenapa saat itu tiba-tiba timbul perasaan tidak enak pada diriku. Jantungku berdetak kencang tak karuan. Aku merasa sesuatu yang tadi pagi kurasakan kembali muncul. Dan tentu saja bukan hal yang baik. Kurasa.
Menjelang sore dan tugas di sawah sudah selesai, aku dan ayahku bersiap-siap untuk pulang. Kalau di awal ayahku membawa hampir semua peralatan, maka di akhir giliranku membawa semuanya. Dengan beban yang tentu saja tidak enteng aku merasa tidak sabar untuk cepat-cepat pulang, lalu mandi, kemudian main game. Simpel.
Menjelang malam, aku melihat ayahku kedatangan tamu. Kurang lebih tiga orang tamu datang ke rumahku saat itu. Aku tidak tahu persis apa yang diobrolkan. “obrolan orang tua tidak boleh kita ganggu,” itu yang ada dalam pikiranku. Aku melanjutkan gameku sampai bosan kemudian tidur.
Keesokan harinya saat aku akan berangkat sekolah, aku mendengar ayahku mengucapkan selamat tinggal pada ibu. Karena penasaran, aku pun mendekatinya dan bertanya, “bapak mau pergi kemana? biasanya tidak ada salam perpisahan setiap akan berangkat ke sawah.” tanyaku.
“memang tidak boleh toh ngucapin salam perpisahan, kan biar romantis,”jawabnya dengan senyuman sok manis namun terasa ada makna lain dalam senyumannya itu. Aku tidak menghiraukannya. Namun senyumnya terus mengganjal di pikiranku.
Aku pergi ke sekolah seperti biasa, melewati jalanan sepi ditemani pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun kali ini pikiran yang mengganggu adalah senyuman ayahku pagi tadi. Aku merasa ada kebohongan di dalamnya.
Sepulang sekolah aku melihat ayah berjalan menuju halaman rumah kemudian duduk sambil melamun seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting. Aku mendatanginya dan bertanya, “pak sedang mikirin apa?” tanyaku heran. Ayahku seperti terkejut mendengar suaraku dan menoleh dengan cepat ke arahku. “ohh…bapak lagi mikir kalau beberapa bulan terakhir rasanya tidak turun hujan, kalo gini terus mana mungkin kita bisa panen.” Jawabnya dengan muka yang meragukan.
“pak…Yoga tau bapak bohong, Yoga bisa baca mimik wajah bapak. Sekali lagi jujurlah, bapak lagi mikirin apa?” aku mendesaknya untuk memberi jawaban pasti. Namun ayahku hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu pergi ke dalam rumah dan berteriak “bu…buatin kopi buat bapak!”.
Malamnya tamu-tamu itu datang lagi, kali ini aku tidak ingin menghiraukan obrolannya, kudengarkan dengan seksama, dengan cermat kudengarkan kata per kata yang diobrolkan. Ternyata mereka sedang mengobrolkan demo untuk menuntut perluasan lahan sawah kepada kepala desa. Mereka mendengar kabar kalau nanti sebuah industri besar akan dibangun dan menggunakan pesawahan warga untuk lahannya.
Menurutku itu hal yang baik, aku sangat mendukungnya. Memang inilah kegunaan demonstrasi. Dan aku mendengar kalau ayahku adalah salah satu penggerak dari kegiatan demonstrasi ini. Aku kagum dengan keberanian ayahku buka suara dan menentang pemerintah melakukan sesuatu yang salah. Kurasa kampung ini memang butuh orang seperti ayahku.
Esoknya aku berangkat sekolah dengan senyuman terlukis di wajahku, aku ingin menceritakan ini semua ke teman sekelasku, pasti keren. Memiliki ayah seorang pemimpin kegiatan demonstrasi memang terlihat dan terdengar sangat keren, khusus hari ini aku harus menyombongkan diri.
Sepulang sekolah aku melihat banyak sekali orang di depan rumah, aku berpikir mungkin mereka demonstran yang ikut dengan ayahku, jadi aku mendekat dengan santai. Lalu tiba-tiba ibu memelukku dengan erat sambal menangis, air matanya membasahi seragam olahragaku. Aku kebingungan, tak bisa berkata apa-apa, lalu melirik orang-orang yang berdiri di sekitar. Mereka memandangku dengan kasihan.
“ada apa bu?” tanyaku. Ibu ku masih menangis dan berusaha mengatakan sesuatu walaupun sambil tersendat-sendat. “bapakmu, nak, bapakmu…dia dalam keadaan darurat sekarang, salah seorang anak buah kepala desa itu, menembaknya.” Jelasnya, dengan tangisan yang tak kunjung henti.
Lalu pamanku datang dengan wajah murung dan mengabarkan kalau ayahku sudah pergi mendahuluiku dan ibuku ke surga. Tempat yang ayahku sendiri selalu ceritakan. Dimana disana tersimpan keindahan tak terbanding, gemercik air yang menenangkan, dan kolam indah penuh susu yang manis dan bisa diminum. Tempat terakhir tujuan manusia, dimana semua orang ingin kesana, berlomba-lomba. Tiada pemimpin selain sang pencipta, tiada kesenjangan ekonomi, tiada saling tindas-menindas, yang ada hanya perkataan mulia, perkataan yang membuat orang bahagia, membuat orang saling menghormati satu sama lain, kedamaian tersebar di sana. Sebenarnya aku iri ayah. Aku selalu iri padamu.
Aku menangis tiada henti setelah itu, aku melihat Argentina bermain malamnya, dan aku membayangkan bagaimana ekspresi ayah saat ini. Tapi itu semua hanya kenangan. Sekarang aku hanya harus melangkah ke depan dan menjadikan pengalaman pahit ini sebagai dorongan untuk menuju puncak kesuksesan kelak. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Panutan Yang Membuatku IriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang