Unspoken Thing's [1]

28.8K 1.1K 47
                                    

Inikah rasanya jatuh cinta?

Ya Tuhan, Kania sering banget meringis dalam hati karena tingkahnya saat ini. Layaknya remaja tanggung yang selalu kepengen deket-deket sama pria yang dicintainya, Kania membiarkan dirinya terus-terusan menempel dengan Reza tanpa sedikitpun keinginan untuk membuat jarak dari suaminya itu.

Reza sendiri, dia sama sekali nggak merasa risih dengan semua aksi glendot mesra Kania itu. Bahkan, dia rela-rela aja ngebiarin dirinya menanggung resiko dengan mengendarai mobil hanya dengan satu tangannya. Karena, satu tangannya yang lain sudah lebih dulu dipenjarakan Kania dengan belitan posesif gadis itu.

"Di depan ada pertigaan, Za. Ambil kiri," Kania memberikan arahan pada Reza, tanpa merasa perlu mengangkat kepalanya barang sedetikpun dari pundak suaminya.

"Oke, abis itu?"

"ikutin jalannya, terus ketemu perempatan, lurus terus aja sampe ada belokan di sebelah kanan. Abis itu, lurus aja terus dan... sampe deh," kata Kania ceria, melengkapi kecerahan pagi ini dengan kebahagiaannya.

"Lumayan jauh juga, ya," gumam Reza seraya mengarahkan stirnya ke arah kiri. "kalo kita berangkat siang nanti, bisa sore deh sampenya. Tahu sendiri kan, weekend gini jalanan biasanya padet."

"Bener banget. Untungnya, kita berangkat abis bedug subuh, ya," kemudian Kania tertawa, lebih tepatnya mentertawakan kekonyolannya. Saking excitid-nya, dia ngotot minta pergi selesai mereka sholat subuh. Dan, atas dasar cinta—silakan muntah—Reza tentu mau-mau saja untuk menuruti keinginan Kania.

"Ya, emang kayaknya kita harus berangkat abis bedug subuh kok, Zara. Kalo tahu bakal sejauh ini, aku juga pasti minta berangkat pagi," kata Reza dengan kekaleman yang biasa ditampilkan pria itu, tak lupa juga senyuman manis plus sayang diberikannya pada Kania yang meliriknya dari kaca mobil.

"Kamu capek gak, Za?" Barulah Kania mengangkat kepalanya untuk menatap Reza dengan kepanikan yang baru muncul setelah sekian jauhnya perjalanan yang mereka lalui.

"Capeklah," jawab Reza. "apalagi nyetir pakek satu tangan kayak gini, berasa pegelnya."

Detik itu juga, air muka Kania sepenuhnya berubah. Senyum girang yang sepagian tadi dipasangnya kini berganti manyun.

"Serius?" cicit Kania dengan suara kelewat pelan.

Melihat wajah suram istrinya Reza langsung tertawa. Karena berhasil untuk membuat Kania merasa bersalah nggak penting untuk candaan garingnya.

"Ya nggaklah, Zara Sayang," katanya, menepikan mobil ke pelataran villa tempat mereka akan menghabiskan akhir pekan kali ini. "Kamu tahu, kan? Segala sesuatu yang kita lakuin untuk orang yang kita sayangi nggak akan kerasa beratnya. Begitu juga aku terhadap kamu. Cuma, aku seneng aja ngegodain kamu demi kesenanganku sendiri."

Detik itu juga, Kania melayangkan satu pukulan mesra pada Reza. Meski, terlihat mesra dan malu-malu, pukulan itu tetap memiki kesakitannya sendiri, terbukti dari ringisan tipis yang lolos dari bibir Reza, meski pria itu masih saja menampakkan senyuman manis untuk Kania.

Dulu, Kania selalu membenci pria bermulut manis seperti suaminya itu. Karena, menurutnya, pria bermulut manis sudah barang tentu satu paket dengan sifat playboy yang hobi ngerayu perempuan, siapa saja selama perempuan itu memenuhi tiga kriteria; masih muda, cantik dan menarik.

Tapi, setelah menikah, dia tentu harus mengesampingkan anggapan itu jauh-jauh, karena kenyataannya, Reza hanya menggombal dan bersikap seperti pria perayu ulung pada dirinya. Dengan perempuan lain? Nggak ada.

Semua orang di kantor juga tahu kalau suaminya itu pribadi yang lebih banyak diam dan kerja dari pada tebar pesona sama perempuan. Kasusnya dengan salah satu anak divisi personalia itu hanya dikarenakan kebaikan hatinya yang disalah artikan.

Perfect Marriage?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang