Malam pertama

254 5 4
                                    

Aku sangat bersyukur menjadi pendampingnya. Betapa bagahagiaku Tuhan. Terima kasih, semua ini atas kehendak-Mu.

Kini aku berada pada kamar bernuansa biru navi. Kamar ini di hias dengan beberapa bunga mawar putih yang tersusun rapi di dinding-dindingnya. Sepertinya kamar ini di hias khusus untuk pengantin baru. Ah, tentu saja. Aku dan Arfan kan pengantin baru. Ini kamar Arfan, tapi sekarang kamar ini menjadi kamarku juga.setelah bosan duduk di ranjang, aku berjalan-jalan mengelilingi kamar.Kamar ini terisi beberapa buku kesehatan yang tersusun rapi di rak buku. Aku melihat sebuah jas putih bersih menggantung dekat lemari, mungkin itu jas dokter milik Arfan. Aku juga melihat ada foto Arfan memeluk seorang wanita. Wanita itu adalah Dianra, Arinta Dianra Putri. Dia adiknya Arfan yang kuliah di luar negeri. Arfan bilang adiknya tidak sempat hadir karena ada kepentingan yang harus di selesaikan.

Arfan. Kemana dia, sejak dia mengantarku memasuki kamarnya. Entah kenapa dia keluar kamar dan meninggalkanku yang masih memakai gaun pengantin dan memegang sebuah buket bunga mawar darinya. Apa setega itu dia meninggalkan istrinya sendirian di kamar.

Terdengar langkah kaki dari luar,
"Asslamu'alaikum" salam Arfan dari  luar. "Wa'alaikumsalam." aku kembali duduk di tepi ranjang. Arfan terlihat membawa sebuah koper besar, Astaga. Itu koperku, kenapa aku bisa melupakan koper itu. " ini kopermu ?, maaf aku meninggalkanmu sendiri. " kata Arfan. Sungguh manis kata-kata yang keluar dari mulut Arfan. " Iya. Terimakasih telah membawanya. Maaf, tadi aku melupakan koper itu." jawabku.

Arfan meletakkan koper itu di depan lemari. Dan melangkah menuju padaku. Matanya tak lepas memandangku, apa yang harus aku lakukan.Aku tak berani menatapnya. Aku sangat malu.Rasanya jantung ingin tak sabar mendubrak untuk keluar, pipiku terasa memanas. Oh, Tuhan jangan membuat pipiku memerah di depannya. Aku hanya menunduk menyembunyikan pipiki yang sedang merona di depan Arfan. Arfan semakin dekat, kini jarak kami hanya beberapa langkah, hanya satu langkah. Apa yang harus aku lakukan. Dia sedikit merendahkan tubuhnya di depanku. Apa yang dia lakukan. Dia mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia mengangkat wajahku pelan dengan telunjuknya.
"Syaidah," suara Arfan memecahkan suasana sunyi di kamar ini. " kenapa kau terlihat malu, aku ini suamimu Syaidah. Jangan malu padaku." sambung Arfan. Bagaimana dia tahu saat ini aku sedang malu. Lebih dari malu, aku gugup menatapnya. " Tidak pak, aku... " Aku menghentikan ucapanku saat Arfan berbicara. "Pak, apa kau selamanya memanggilku dengan kata itu. Apa tidak ada panggilan romantis dari istri untuk suaminya." kata Arfan yang membuatku tambah malu. Akan ku panggil apa dia. " Aku harus memanggilmu apa, apa boleh kupanggil mas?" tanyaku padanya. " Mas, sedikit romantis. Baiklah panggil mas saja." ucap Arfan. " Syaidah, apa kau akan terus memakai pakaian pengantin itu. Apa kau tidak merasa panas?" tanyanya. Tentu saja aku merasa panas dengan pakaian ini. " Aku mau mandi dulu." Arfan berdiri dan pergi meninggalkan ku.

Aku menyusun rapi barangku di lemari yang telah disiapkan Arfan. Setelah itu aku melangkah keluar kamar menuju dapur. Akan kubuatkan susu untuk mas Arfan. Ibu memintaku untuk membuatkan suamiku susu di malam pertama. Entah apa maksud ibu memintaku melakukan hal itu.

Kini aku tengah membuka kulkas, berharap sebuah susu di dalamnya. Dan benar tersapat susu coklat kental manis di kulkas. Aku mengambil susu itu dan ku tuangkan sebagian isinya pada gelas yang telah ku siapkan. Sambil menunggu air mendidih, aku menyimpan kembali kaleng susu itu dalam kulkas. Rumah besar ini terasa sangat sepi. Mungkin Ayah dan bunda sudah tidur. Mereka pasti merasa kelelahan seharian melayani tamu-tamu di pernikanku dengan mas Arfan.
" non, apa yang non lakukan disini. Nonkan pengantin baru. Kenapa non tidak menyuruh bibi saja. Itu tugas bibi non." suara bi Ijah dari belakang yang membuatku membalikkan badan. " Bi Ijah, tidak bi. Saya hanya membuat segelas susu untuk mas Arfan." ucapanku sambil mematikan kompor dan menungkan air yang mendidih tadi pada gelas. " Tapi non kan bisa minta bibi yang membuatnya." kata bi Ijah. " Tidak bi, ini hanya membuat susu. Ya sudah saya permisi ke kamar ya bi." icapanku dengan mengangkat suau yang telah kubuat tadi. " Apa ingin saya yang membawanya non.?" tawaran bibi padaku. " Tidak bi, biar saya saja." jawabku sambil berjalan meninggalkannya.

Luka untuk SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang