Seseorang pernah berkata: Perang itu jauh lebih buruk dari neraka; hanya pendosa yang masuk neraka, sedangkan dalam perang.. mereka memasukkan segalanya. Seolah belum cukup satu perang berskala dunia, Adolf—persetan—Hitler dan pengikutnya itu benar lebih rendah dari binatang.
Steve Rogers dan segala kekurangannya ini kadang berpikir jika dirinya dilahirkan hanya untuk mati. Tapi tentunya itu akan menyakiti Sarah Rogers. Perempuan itu bak mentari yang masih yakin dan menaruh harapan pada masa depan, pada puteranya. Mengecewakannya adalah terakhir yang ingin dilakukan Steve.
"Steve?" Suara gaduh dari dapur membangunkan Sarah Rogers dari tidurnya. Ia mengerenyitkan dahi saat menyadari dirinya masih mengenakan seragam. Lagi-lagi ia tertidur di sofa, punggungnya menjerit saat ia berusaha bangun. Dari dapur, puteranya menyahut.
"Aku tak apa Ma!"
Steve Rogers tampak sibuk menuangkan air panas kedalam dua cangkir berisi bubuk kopi, satu sendok gula, tanpa krimer. Aroma harumnya memenuhi apartemen kecil mereka. Sarah Rogers tertawa kecil saat melihat puteranya berjinjit untuk meraih sendok di atas rak.
Mereka berakhir kembali di sofa, menyeruput minuman masing-masing sembari membicarakan kegiatan Steve di sekolah. Tentunya Steve tak menceritakan bagaimana dirinya mendapat memar di pelipis kanan karena beradu tinju dengan Hector dari kelas sebelah. Itu urusan Bucky jika ia berkunjung siang nanti.
Sarah Rogers hanya mengangguk dan ikut tertawa, hingga ia menyadari jam dinding menunjuk pukul sembilan. Steve menyadari ibunya yang mulai risau dengan waktu. Ia tak suka saat Sarah Rogers harus kembali bekerja, padahal ia baru saja pulang beberapa jam lalu. Namun tak ada yang bisa mereka lakukan untuk itu.
Mereka butuh uang, dan bertahan hidup. Dunia sedang tak begitu baik bagi mereka untuk saat ini. Sarah Rogers berusaha keras untuk tetap menjadi mentari bagi semua orang, termasuk Steve sendiri.
Dan beberapa tahun kemudian, tentu saja mereka mengambil mentari itu dari hidupnya.
"Masalahnya, kau memang tak perlu." Ujar Bucky Barnes. Dia selalu tulus dalam ucapannya. Kunci logam itu diserahkan pada kawannya. Saat mata biru kehijauan sendu itu (akhirnya) ditujukan padanya, Bucky Barnes merasa hatinya seolah ditendang.
"Aku akan tetap bersamamu hingga garis akhir, kawan." Sumpahnya. Dunia ini sungguh mengerikan dan menyedihkan, tapi itu nyata. Mereka tak bisa menyalahkan diri mereka, terlebih menyalahkan takdir. Jika kita harus menggaruk sampah untuk hidup, pikir Bucky, maka itulah yang akan kita lakukan.
Cahaya Bucky Barnes mungkin tak seterang Sarah Rogers, dan takkan pernah bisa menyainginya. Bucky Barnes hanyalah obor, jika bukan lilin. Tapi bagi Steve, hal itu lebih dari cukup. Seolah saat ia tak punya apa-apa lagi, ia masih punya Bucky.
___
"Kita bisa mengakhiri ini," Kata Steve Rogers pada suatu sore. "kita bisa memulai dunia baru."
Dan jika menurut Bucky surat penugasannya ke garis depan adalah hal terburuk, melihat seorang Steve Rogers dengan penuh ambisi menuliskan namanya pada formulir relawan angkatan darat ternyata jauh lebih buruk. Pemuda pirang itu benar-benar tak peduli jika dirinya juga menuliskan namanya diatas batu nisan.
Bahkan Bucky tak perlu berdo'a agar mereka menolak semua formulir yang diajukan Steve. Tapi kawannya ini memiliki tekad yang lebih besar dari fisiknya, dan kepala yang lebih keras dari batu-batu karang di garis pantai.
Dalam formulir riwayat penyakit, Bucky bisa menemukan buta warna, gangguan pendengaran, athma, skoliosis, riwayat TBC, jantung, pneumonia, dan seterusnya, dan seterusnya. Steve sungguh ingin membuktikan pada dunia jika dirinya masih berguna. Benar-benar tak habis pikir, Bucky tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Old Lie
FanfictionDia berada di puncak apartemen kumuhnya di Brooklyn. Angin yang berhembus dan menyisir rambutnya begitu tercemar dengan asap dan benda-benda busuk. Seseorang memanggil namanya dari bawah. Tampak senyum hangat dari Becca, dan Steve di belakangnya. Me...