Steve Rogers dilahirkan di era dimana segala sesuatu lebih buruk dari neraka. Ia dilahirkan dengan mata yang tak bisa melihat warna dengan benar, pendengaran yang terganggu, tulang punggung yang berbelok kearah yang salah, darah rendah, gangguan pernapasan, gangguan jantung, dan seterusnya, dan seterusnya. Kadang ia berpikir jika dirinya dilahirkan untuk mati.
Tapi itu akan menyakiti Sarah Rogers, akan menyakiti Bucky Barnes, akan menyakiti Peggy Carter, akan menyakiti Sam Wilson, Natasha Romanoff, Wanda Maximoff, Clint Barton, Manusia-Semut-yang-Ia-Lupa-Namanya, Fury, Hill, Sharon, T'Challa, daftar itu semakin hari semakin panjang.
Ia tak berbeda dengan manusia lain pada umumnya; memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Ia dikhianati, dan mengkhianati. Ia dicintai, dan dibenci. Ia selalu belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
Dari balik pohon hijau dan rerumputan, Steve bisa melihat siluet Bucky yang tengah memotong kayu-kayu balok untuk bahan bakar. Tak jauh darinya sekelompok anak-anak Wakanda yang sesekali menggodanya dan bermain dengan binatang ternak. Ia menyerukan sesuatu dalam Xhosa, yang diterjemahkan secara otomatis oleh perangkat penerjemahnya sebagai Pergilah dari ladangku!
Disebelahnya, Shuri, sang puteri Wakanda terkekeh geli.
"Kau tahu kau boleh memanggilnya, Cap." Katanya.
"Steve." Koreksi lelaki itu. Tiga Dora Milaje yang berjaga dibelakangnya langsung memberi tatapan tajam. Sementara itu, Sang Puteri muda itu hanya mengangkat bahu, tak peduli.
Steve menyempatkan diri menyisir rumput ilalang tinggi di sekitarnya dengan jemari. Ia tinggal sepasang langkah lagi hingga Bucky berbalik tepat menghadapnya. Sosok itu tampak terkejut, bahkan sempat mengusap kedua matanya, jikalau ini hanyalah tipuan lain dari otaknya yang semi-stabil.
Steve melakukan hal yang sama. Bucky di hadapannya mengenakan kemeja abu-abu dan celana jeans. Sebuah kain biru diselempangkan menutupi lengan kirinya yang kosong. Pipinya merona kemerahan akibat terbakar matahari. Rambut panjangnya diikat kebelakang. Bucky terlihat sangat nyata dan hidup.
"Hai, Buck." Sapanya payah.
Bucky berjongkok untuk meletakkan kapaknya pada alas kayu itu, lalu ia berbalik membentangkan tangannya lebar. Seringai jenaka tampak menghias wajahnya.
Maka Steve berlari kecil menerjang, membawa Bucky kedalam pelukannya. Mereka bisa saja jatuh berguling ke sungai jika Bucky tidak menahan. Ya Tuhan, ia benar-benar disini!
"Heya, punk." Suara berat itu teredam oleh bahu Steve. Jantung mereka perlahan berdetak membentuk ritme yang sinkron, seolah tubuh mereka kembali mengecil, menjadi remaja belasan tahun yang gemar berbuat ulah hampir di tiap sudut jalanan kotor Brookyln.
Bucky menciumi pipi dan dahinya, menempelkan kedua pelipis mereka hingga dua pasang mata biru yang berbeda nada itu saling berhadapan. Napas mereka berhembus hangat. Bisik Bucky sembari meraih tengkuk Steve, "Selamat datang kembali.".
Senyum di wajah Steve bertambah lebar, pipinya mulai terasa sakit, dan ia mampu menahannya. Jemari kasarnya menggenggam lembut telapak tangan Bucky. Balasnya, "Aku pulang.".
Steve bisa melihat pantulan dirinya dalam pupil hitam Bucky yang melebar, dan ia tak perlu bertanya untuk tahu jika Bucky memikirkan hal yang sama. Kupu-kupu di perutnya kembali beterbangan. Mereka tak boleh melakukan ini di tahun 40-an, dan itu hampir delapan puluh tahun lalu.
Dunia jauh lebih stabil, meski kabar peperangan masih menyisip dalam New York Times.
Para Dora Milaje yang panik segera mendorong Shuri berbalik saat dua lelaki bodoh itu saling menautkan bibir.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
The Old Lie
FanfictionDia berada di puncak apartemen kumuhnya di Brooklyn. Angin yang berhembus dan menyisir rambutnya begitu tercemar dengan asap dan benda-benda busuk. Seseorang memanggil namanya dari bawah. Tampak senyum hangat dari Becca, dan Steve di belakangnya. Me...