A2

1.5K 60 5
                                    

Tania menatap lekat punggung tegap itu yang kian menjauh. Hingga suara Dona yang memanggilnya membuat Tania berbalik dan menghampiri Dona yang sudah tidak memegang kotak berisi durian tadi.

"Elo gak papa kan? Buset deh tuh kak Arga, kalo ngomong ngegas mulu." Ucap Dona.

"Jadi dia yang namanya Kak Arga?" Dona menganggukkan kepalanya.

"Tapi... Kak Arga kayak kaget gitu loh pas liat muka lo, Tan. Kalian udah pernah ketemu ya?" Tanya Dona penasaran.

Tania mengangkat bahunya. "Gak tahu. Mungkin Kak Arga pernah liat Tania kali, tapi Tanianya aja yang gak sadar."

Dona hanya manggut-manggut lalu merangkul bahu Tania, berjalan kembali menuju kantin.

"Duriannya mana? Tadikan Dona yang pegang,"

"Diambil Shila, gue aja kaget tiba-tiba tuh anak udah ada dibelakang gue."

"Segitu sukanya ya sama durian?"

"Enak tahu! Elo aja ih yang aneh. Disaat orang berlomba-lomba pengen makan durian, lah elo malah kabur sendiri jauhin durian."

Tania cemberut seketika, "Gak enak! Apalagi baunya, Tania gak suka."

"Kali-kali elo harus coba."

"Enggak! Tania gak mau!" Teriaknya histeris membuat Dona melepaskan rangkulan dan sedikit menjauh.

Dona terbahak melihat wajah Tania yang ditekuk. Lalu ia kembali mendekati Tania dan merangkulnya. Berjalan beriringan menghampiri Shila yang tengah memakan duriannya lahap membuat keduanya tersenyum geli.

🏀🏀🏀

Tania menatap pantulannya dicermin. Ia yang terbiasa memakai baju-baju santai kini harus memakai dress karena permintaan sang Mama. Dress berwarna merah dengan model sabrina itu memang membuatnya terlihat lebih dewasa, dengan polesan make up naturalnya menambah kesan manis.

Ceklek!

Suara pintu dibuka membuat Tania menoleh dan mendapati Lia yang kini berjalan kearahnya dengan senyuman lebarnya.

"Waah, putri Mama cantik sekali." Pujinya seraya merangkul Tania menghadap cermin.

"Gimana, udah siap ketemu calon suami?" Tanya Lia seraya mengedipkan sebelah matanya membuat Tania tersenyum malu.

"Ehhemm!"

Deheman itu membuat keduanya saling melempar senyum lalu membalikkan badannya menatap pria paruh baya yang kini berjalan mendekat kearah keduanya.

"Gimana tadi disekolah, udah ketemu Satya?" Tanya Herlan seraya mengusap puncak kepala Tania.

Tania menggeleng sebagai jawaban.

Herlan tersenyum, "Ah mungkin, memang seharusnya kalian dipertemukan di acara makan malam ini. Yasudah, kalo gitu Papa kebawah duluan, kamu dan Mama nyusul ya!"

Setelah kepergian Herlan, Tania menatap Mamanya dalam.

"Sayang, kenapa?"

Tania menggeleng seraya tersenyum kecil, "Gak papa, kok, Ma."

"Bener?"

Tania menghela napas pelan, diraihnya tangan Lia lalu digenggamnya erat. "Tania gak tahu kenapa Mama sama Papa tetep kekeh mau jodohin Tania. Dan setiap kali Tania tanya, kalian selalu gak bisa jawab. Kenapa Ma?"

"Nak-"

"Tania akan turutin permintaan Mama sama Papa. Tapi Tania juga pengen tahu alasan sebenarnya kalian jodohin Tania. Apa begitu sulit? Tania cuma pengen tahu. Papa bilang biar ada yang jagain Tania, itu bukan alasan utamanya kan? Padahal Tania bisa tinggal dirumah Bibi, seperti dulu waktu Mama sama Papa ada kerjaan diluar kota."

Lia memalingkan wajahnya saat air matanya jatuh tak bisa ditahan lagi. Dan Tania melihat itu, merapatkan tubuhnya pada sang Mama lalu dipeluknya erat dengan matanya berkaca-kaca.

"Mama jangan nangis. Maafin Tania-hiks. Ma, Tania gak bermaksud, Tania janji gak akan nanya soal itu lagi. Ta-"

"Ssssttth... sayang, harusnya Mama yang minta maaf. Maafin Mama sama Papa yang udah maksa kamu, Mama sama Papa sayang sama kamu. Mama bener-bener gak bisa jawab itu, suatu hari nanti kamu pasti akan tahu, maafkan Mama, nak. Maaf, maaf..."

🏀🏀🏀

Tania menuruni anak tangga dengan hati-hati, jantungnya berdekat dua kali lebih cepat. Pegangan tangannya pada Lia mengerat. Inilah saatnya, dimana Tania bertemu dengan calon suaminya, masa depannya, jodohnya.

Mengatur napas yang sedikit memburu, Tania menatap Mamanya yang tersenyum lembut seolah menenangkannya. Tania, siap!

Setelah memantapkan hatinya, Tania menarik kedua sudut bibirnya keatas. Berjalan menuju ruang makan, terlihat Papanya yang tengah mengobrol dengan pria sebayanya itu.

Herlan yang menyadari kedatangan Tania tersenyum lebar. Begitu juga dengan sosok disamping Papanya itu. "Ini putrimu, Lan? Cantik." Celetuknya pada Herlan dengan mata memandang Tania kagum.

"Haha, iya, Jo." Herlan menepuk pundak Johan. "Mana Satya? Masih dijalan?"

Johan menghembuskan napasnya pelan. "Lagi tanding basket, tapi dia udah janji mau kesini. Mungkin bentar lagi."

Herlan menganggukkan kepalanya, lalu memperkenalkan Tania pada sahabatnya itu. Mereka mengobrol seru, hingga suara langkah kaki menghentikan aktifitas mereka.

"Ah, itu Satya." Ucapan Johan membuat Tania menoleh.

Senyum Tania luntur seketika digantikan dengan wajah kagetnya.

Loh, Kak Arga?!

Tbc...

ARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang