1. [Awalnya]

62 8 0
                                    

LIE

-Awalnya-
.
.
.

Bukankah hot latte sangat nikmat dengan perpaduan kesunyian, suara gemercik hujan diluar, dan aku sendirian. Ya aku berada di cafe favoritku, sebenarnya aku tak berniat pergi kesini dikarenakan hujan turun aku terpaksa harus berteduh di sinion*Cafe ini memang favoritku tapi itu dulu, sekrang cafe ini bagai bom waktu bagiku.Cafe ini adalah kenangan bagiku, kenangan yang aku sendiri tak tau harus menyebutnya bahagia atau menyakitkan. Saat aku sedang membuka lembar demi lembar novel didepanku, melodi itu masuk ke dalam telinga sebuah lagu dengan lirik yang membuatku sesak. Lengkap sudah hari itu hujan yang ku benci, kenangan yang ku datangi, dan sesak lantunan melodi. Dan untuk semua rasa perih ini, aku tak bisa menyalahkan siapapun bahkan jika aku ingin.


*Flashback on*

Hari ini adalah hari ulang tahunku, tak pernah ada yang sepesial dihari sepesial ku. Aku selalu melakukan nya bersama sahabatku Arsya. Namanya Arsya Aditira, dia sahabatku dan aku sangat menyayanginya. Walau dia bukan seorang wanita yang bisa diajak pergi jalan-jalan berdua, namun aku suka menghabiskan waktu bersama nya sekalipun itu hanya menonton TV. Seperti biasa aku selalu cerewet dan dia selalu diam, menyebalkan. Namun dia selalu penuh kejutan, dia memberiku ucapan ulang tahun. Itu adalah sebuah keajaiban dunia, ya memang seperti itu meski aku sudah berumur 11 tahun dia baru satu kali mengatakan selamat ulang tahun.

*Flashback off*

Aku tersadar karena bunyi lonceng dipintu yang menandakan ada pelanggan masuk. Aku benar-benar membenci situasi ini, aku berlari keluar cafe bahkan sebelum memesan apa pun dan aku tak mempedulikan hujan yang jatuh mengguyur seluruh tubuhku. Dingin memang hingga menusuk ke tulang, namun rasanya semuanya kelu aku tak bisa merasakan dingin seluruh rasa terpusat pada hatiku. Aku basah kuyup. Aku menangis, aku bahkan tak mengerti sudah 7 tahun sejak kejadian itu terjadi namun semuanya terasa baru saja terjadi. Aku lanjut berjalan karena tak mungkin aku hanya duduk disana hingga hujan reda. Aku terpaku menatap lapangan disebelah kananku. Ada seorang anak bermain hujan dengan sepedanya, aku ingin sekali menyuruh anak itu pergi dari hadapanku. Namun apa... Apa salah anak itu bahkan kita tak saling mengenal. Aku hanya membenci kenangan yang selalu memberontak didalam pikiranku dengan hal-hal kecil yang ku lihat. Mengapa dia yang melupakanku, seakan memberontak didalam pikiranku untuk kembali diingat?. Mengapa dia yang merobek hati ini, selalu memberontak untuk merobeknya kembali? Bahkan robekan lama itu masih belum pulih. Aku menangis lagi, entah untuk kesekian kalinya aku menangis.

Aku membersihkan diriku dari air hujan. Aku berjalan menaiki tangga demi tangga, dan aku terpaku menatap kalender di dinding. Besok Fahri akan pulang dari lampung. Fahri adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Aku sama sekali tidak bahagia, bukannya aku tidak menyukainya pulang. Jujur aku merindukannya namun aku tau aku harus membuka luka lama jika dia menanyakan mengenai Arsya. Entah bagaimana besok aku hanya akan pergi tidur sekarang ,berharap semua luka ini terbawa pergi oleh mimpi.

Pagi ini aku sudah berada di stasiun, dan dari kejauhan aku sudah melihat Fahri. Aku bingung karena raut wajahnya menampakkan kemarahan aku tak mengerti sama sekali .
"Kamu kenapa? " ,tanya ku.
"Kamu hutang cerita sama aku naz", balas Fahri tanpa menatapku.
" Maksud kamu apa? ", aku benar-benar tak tau arah pembicaraan ini.
" Masuk dulu ngga enak ngomong disini", dia membukakan pintu mobil dan aku mengangguk. Setelah mobil berjalan aku mulai membuka suara karena Fahri tak juga membuka suara.
"Jadi sebenernya kenapa? ", tanyaku dan kemudian Fahri meminggirkan mobilnya di pinggir jalan lalu menatapku.
" Dimana bajingan itu? ", tanyanya.
Aku diam membisu, hatiku rasanya sudah jatuh kebawah . Bagaimana bisa secepat ini dia menanyakan mengenai Arsya. Aku bahkan belum menyiapkan apapun. Aku bahkan tau aku tak bisa berbohong padanya. Aku meneguk air liurku, hatiku benar-benar sakit.
" Bajingan? Maksud kamu? "
"Iya BAJINGAN itu, kamu tau maksud aku naz ngga usah pura-pura bodoh", jawab Fahri dengan tegas.
" Arsya? ", sangat sulit dan pedih mendengar namanya bahkan diriku sendiri yang menyebut namanya.
" Iya.., jadi kamu ngga mau cerita? ", tanya Fahri lebih seperti menuding ku.

Aku memejamkan mataku,meremas ujung bajuku, menahan keras air mataku, mengambil nafas dalam dan membuangnya perlahan.
" Dia adalah masalahku, disaat aku dihadapkan dengan masalah pilihanku cuman dua, berperang atau melarikan diri. Jika aku berperang mungkin masalah bisa selesai, namun jika aku melarikan diri mungkin dia akan ikut. Tetapi ini sulit, karena masalahku, hatiku yang menimbulkan nya. ", jawab ku tegas.
" Oke kita kerumah sekarang", Fahri melajukan mobilnya dengan lebih kencang sehingga kami tiba lebih cepat.

"Mau minum apa? ", tanyaku padanya.
" Ngga usah langsung ke intinya aja", sahutnya.
Aku bingung bagaimana dan dari mana aku harus menjelaskan segalanya. Aku tak mau lagi mengatakan apa pun mengenai dia lagi, namun kondisi ini mendesak ku. Aku berjalan perlahan menuju jendela besar yang menunjukkan gerimis di luar. Ku tumpukan tanganku disana, ku tutup mataku membiarkan suara alam memenuhi pendengaran ku, dan angin menyapu wajahku. Seolah diriku meminta bantuan kepadanya.
"Aku dengerin dengan baik, cerita semampumu", tenang Fahri.

*Flashback on*

" NAZLA", teriak Arsya yang berlari ke arahku dengan buku gambarnya dan duduk disebelahku.
"Aku ngga tuli ngga perlu teriak-teriak", balas ku tanpa menatapnya masih sibuk dengan tugasku.
" Hehehe bantuin aku gambar dong kan kamu udah selesai", pintanya.
"Yah kerjain sendiri dong, sampek kapan nyalin aku mulu? ", kesal ku.
" Eh kayaknya ngga boleh ya ngerjain matematika di jam gambar", tantang nya.
"Kamu kok ngeselin gitu sih", balas ku mulai menatap nya.
" Sesuka-sukanya kamu sama matematika, kamu harus tetep bantu aku. "
"Hrh... Iya udah mana sini", akhirnya aku mengalah. Dia pergi dengan meninggalkan sentuhan dipipiku. Bagiku itu hal yang biasa. Sekolah bagiku adalah Arsya. Segalanya yang aku lakukan tidak pernah aku meninggalkan Arsya. Di usiku saat itu aku tak mengerti bahwa sesungguhnya tak ada pertemanan antara pria dan wanita. Aku hanya menyayangi nya dan selalu suka bersamanya. Aku tak pernah memikirkan hal lain, termasuk perasaanku sendiri.

*Flashback end*

.
.
.
_

____________________
To be Continue
4 July 2018; 17.10 WIB
©Novaardana

LIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang